Proposal Penelitian Tindakan Kelas (PTK) Pendidikan Kewarganegaraan

A. Judul Penelitian : Penerapan Model Moral Reasoning Untuk Meningkatkan Keberanian Mengemukakan  Pendapat Dan Mengambil Keputusan Pada Mata Pelajaran PKn Kelas IX SMP Negeri 22 Samarinda

B. Bidang Kajian : Desain Dan Strategi Pembelajaran Di Kelas

C. Pendahuluan

Guru memiliki peranan sangat strategis dalam proses pembelajaran. Peran startegis guru dalam proses pembelajaran ini memiliki dampak pada kompetensi yang dicapai siswa (pengetahuan, sikap, keterampilan). Kompetensi siswa akan berkembang secara optimal tergantung bagaimana guru memposisikan diri dan menempatkan posisi siswa dalam pembelajaran. Selama ini dalam pembelajaran, siswa diposisikan sebagai obyek, sedangkan guru memposisikan diri sebagai subyek pembelajaran. Akibatnya guru lebih aktif dan dominan dalam proses pembelajaran. Seharusnya, guru dalam pembelajaran lebih memposisikan diri sebagai fasilitator, motivator, dan mediator sehingga siswa dapat mengembangkan kompetensinya.

Berdasarkan wawancara dan pengamatan dengan guru PKn bahwa metode pembelajaran yang sering digunakan dalam pembelajaran adalah ceramah diselingi tanya jawab, pemberian tugas dan diskusi. Penempatan posisi dan pemilihan metode dalam pembelajaran yang kurang tepat ini berpengaruh terhadap iklim kelas. Seringnya menggunakan metode ceramah yang diselingi tanya jawab, pemberian tugas, dan diskusi yang kurang terarah dalam pembelajaran mengakibatkan siswa kurang aktif. Kegiatan yang dilakukan siswa hanya mendengar dan kadang-kadang mencatat, itupun hanya dilakukan oleh sebagian kecil siswa. Sedangkan, siswa yang lain lebih banyak berbicara dengan teman duduk sebangku.

Guru menyadari bahwa tindakan tersebut mengakibatkan situasi dan kondisi yang kurang mendukung untuk pencapaian tujuan pembelajaran. Oleh kerena itu, dalam pembelajaran dengan cepat merubah startegi dengan mengajukan beberapa pertanyaan kepada siswa. Maksudnya adalah agar siswa lebih perhatian terhadap materi yang dijelaskan. Namun demikian, pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan materi pembelajaran yang ditanyakan kepada siswa kurang direspon siswa dan hasilnya tidak seperti yang diharapkan, hanya sebagian kecil siswa yang menjawab, sedangkan siswa yang lain lebih banyak berdiam diri.

Pembelajaran satu arah yang dikembangkan guru selain membosankan dan kurang efektif dalam mencapai tujuan pembelajaran juga berakibat pada aktivitas siswa dalam mengikuti pembelajaran. Akibat dari penerapan metode ceramah yang diselingi tanya jawab, pemberian tugas antara lain siswa memiliki sikap negatif terhadap pembelajaran, kurang berani mengemukakan pendapat dan mengambil keputusan, malas bertanya dan menjawab pertanyaan, kurang serius dalam mengikuti pelajaran, kurang berminat dan termotivasi dalam belajar, serta kurang menghargai dan bekerjasama sesama siswa. Berdasarkan pengalaman dan pengamatan di kelas bahwa penggunaan metode pembelajaraan satu arah mengakibatnya siswa yang berani mengemukakan pendapat minim hanya 15 % .

Permasalahan sebagaimana tersebut di atas harus segera diatasi atau di teliti sehingga akan meningkatkan kompetensi siswa antara lain keberanian mengemukakan pendapat, keberanian mengambil keputusan dengan pertimbangan moral, keberanian bertanya dan menjawab, kemampuan bekerjasama dan menghargai orang lain yang akhirnya akan meningkatkan hasil dan mutu pembelajaran. Namun, jika tidak segera diatasi atau diteliti akan memperoleh kerugian antara lain rendahnya kompetensi yang akan dicapai siswa (pengetahuan, sikap, keterampilan), hasil belajar, mutu pembelajaran dan mutu pendidikan. Oleh karena itu, hal tersebut memerlukan kreatif dan inovatif dalam merancang pembelajaran mulai dari menyusun silabus dan rencana pelaksanaan pengajaran (RPP) sampai dengan mengaplikasikan dalam kegiatan pembelajaran sehingga akan menghasilkan siswa yang aktif dalam kegiatan pembelajaran, berpikir kreatif, kritis dan rasional, serta memiliki hasil belajar yang baik.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas peneliti ingin meneliti melalui penelitian tindakan kelas tentang penerapan model Moral Reasoning untuk meningkatkan keberanian siswa mengemukakan pendapat dan mengambil keputusan dengan alasan serta menggunakan pertimbangan moral. Diharapkan hasil penelitian ini akan memberikan kontribusi langsung pada peningkatan kualitas pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan sehingga kompetensi dan hasil belajar siswa dapat ditingkatkan.

D. Perumusan Dan Pemecahan Masalah

1. Perumusan Masalah

Berdasarkan analisis masalah pada latar belakang, yang menjadi akar penyebab siswa dalam kegiatan pembelajaran pasif, memiliki sikap negatif terhadap pembelajaran, kurang berani mengemukakan pendapat dan mengambil keputusan, malas bertanya dan menjawab pertanyaan, kurang serius dalam mengikuti pelajaran, kurang berminat dan termotivasi dalam belajar, serta kurang menghargai dan bekerjasama sesama siswa adalah guru belum menerapkan model pembelajaran yang dapat mengaktifkan siswa dalam pembelajaran salah satunnya Model Moral Reasoning.

Ryan, (2003) Pembelajaran memecahkan masalah dengan menggunakan moral reasoning ternyata memberikan pengaruh iklim belajar dan kemampuan mengemukakan pendapat secara positif serta memberikan dukungan kepada pendidikan karakter.

Berdasarkan permasalahan tersebut maka dapat dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut : Apakah model moral reasoning dapat meningkatkan keberanian mengemukakan pendapat dan mengambil keputusan dengan pertimbangan moral dalam kegiatan pembelajaran ?

Rumusan masalah tersebut dapat dirinci dalam pertanyaan penelitian

sebagai berikut:

(1) Bagaimana aktivitas siswa dalam pembelajaran dengan menggunakan model moral reasoning?

(2) Bagaimana aktivitas guru dalam mengelola pembelajaran dengan model moral reasoning?

(3) Bagaimana perkembangan moral siswa dengan menggunakan model moral reasoning?



2. Pemecahan Masalah

Untuk mewujudkan siswa yang dapat berfikir secara rasional, kritis, dan kreatif yakni keberanian mengemukakan pendapat, mengambil keputusan yang disertai dengan pertimbangan moral memerlukan lingkungan belajar yang mendukung antara lain strategi atau model pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat mengembangkan potensinnya.

a. Berkaitan dengan hal tersebut solusi yang diajukan untuk memecahkan masalah adalah sebagai berikut :

Penerapan model Pembelajaran Moral Reasoning Kohlberg. Model ini diharapakan dapat membantu siswa untuk berani mengemukakan pendapat, mengambil keputusan dengan alasan serta menggunakan pertimbangan moral, kemampuan bekerjasama, dan menghargai orang lain. Selain itu, model ini dapat meningkatkan keterampilan guru dalam mengembangkan dan menerapkan model pembelajaran di kelas.

b. Untuk meningkatkan aktivitas siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran dilakukan beberapa cara antara lain:

1. Guru membuat cerita yang dilematis baik dari kejadian di masyarakat sekitar maupun cerita dilematis buatan guru sendiri ”DILEMA MORAL” kemudian dibagikan kepada semua siwa dalam kelas

2. Guru membentuk kelompok diskusi untuk mendiskusikan delima moral.

3. Guru memberikan kesempatan yang sama kepada semua siswa untuk mengemukakan pendapatnya dan mengambil keputusan berkaitan dengan dilema moral yang diberikan kepada siswa

4. Guru menghargai semua pendapat dan keputusan maupun argumentasi yang disampaikan oleh siswa baik yang kritis maupun yang kurang

5. Guru memberikan pujian pada siswa yang telah berani mengemukakan pendapat dan mengambil keputusan dengan argumentasi yang diajukan

6. Guru memberi motivasi kepada siswa yang belum berani mengemukakan pendapat dan mengambil keputusan, agar ada keberanian untuk berpendapat dan mengambil keputusan

c. Untuk meningkatkan hasil belajar siswa dilakukan cara cara sebagai berikut:

Guru menyampaikan kepada siswa bahwa aktifitas yang dilakukan selama kegiatan pembelajaran (mengemukakan pendapat, menghargai orang lain, bekerja sama dalam diskusi) akan dinilai. Pada intinya dilema moral adalah membantu siswa agar perkembangan moralnya tidak terhambat sihingga dapat mengambil keputusan dengan pertimbangan moral sesuai dengan perkembangan moral yang dimilki.



3. Tujuan Penelitian

Tujuan yang akan dicapai dari Peneltian ini adalah :

1.Tujuan Umum

a) Meningkatan kualitas pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di SMP Negeri 22 Samarinda.

b) Memperoleh strategi pembelajaran yang kreatif, inovatif, menyenangkan dan menantang

2. Tujuan khusus

a. Bagi guru

1. Untuk meningkatkan kemampuan guru dalam menyusun dan mengembangkan program pembelajaran serta melaksanakan strategi pembelajaran yang berpusat pada siswa.

2. Untuk meningkatkan kemampuan guru dalam melaksanakan penelitian tindakan kelas untuk perbaikan atau peningkatan kualitas pembelajaran dalam mata pelajaran yang diasuhnya.



b. Bagi siswa

1. Meningkatkan keberanian mengemukakan pendapat

2. Meningkatkan keberanian mengambil keputusan dengan alasan dan pertimbangan moral

3. Mengetahui tingkat perkembangan moral siswa

4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi guru dan siswa dalam meningkatkan mutu pembelajaran, mengembangkan kemampuan berfikir kritis dan kreatif, meningkatkan aktivitasnya dalam pembelajaran dan meningkatkan keterampilan guru dalam pembelajaran

Secara khusus manfaat langsung yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah :

1. Siswa dapat meningkatkan kopetensinnya khususnya keberanian mengemukakan pendapat, mengambil keputusan dengan pertimbangan moral, menghargai dan kerjasama dengan orang lain

2. Pembelajaran lebih efektif dan efisien, kreatif, bermakna dan berfokus pada siswa.

3. Mendorong penerapan inovasi pembelajaran agar pembelajaran lebih bermutu, menarik dan bermakna, produktif, dialogis, dan manusiawi.



E. Kajian Pustaka

Siswa sebagai generasi penerus bangsa perlu dibina secara terus menerus. Dengan demikian, diharapan mereka memiliki kemampuan berfikir secara rasional, kritis, dan kreatif, sehingga mampu memahami berbagai wacana kewarganegaraan; memiliki ketrampilan intelektual dan keterampilan berpartisipasi secara demokratis dan bertanggung jawab; memiliki watak dan kepribadian yang baik, sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

1. Model Moral Reasoning

Untuk mewudkan siswa yang dapat berpiki rasional kritis, kreatif, dan memiliki watak yang baik sebagimana tersebut di atas diperlukan pendidikan demokrasi dan pendidikan nilai dan moral. Ada Lima pendekatan pendidikan nilai yaitu: (1) Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach), (2) Pendekatan perkembangan moral kognitif (cognitive moral development approach), (3) Pendekatan analisis nilai (values analysis approach), (4) Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach), dan (5) Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach) .(Zakaria: 2001)

Untuk meningkatkan kemampuan siswa mengemukakan pendapat dan mengambil keputusan dengan pertimbangan moral, salah satunya menggunakan pendekatan atau model perkembangan moral kognitif (cognitive moral development approach) yang terkenal dengan Moral reasoning. Model atau Pendekatan ini dikatakan pendekatan perkembangan kognitif karena karakteristiknya memberikan penekanan pada aspek kognitif dan perkembangannya. Pendekatan ini mendorong siswa untuk berpikir aktif tentang masalah-masalah moral dan dalam membuat keputusan-keputusan moral. Perkembangan moral menurut pendekatan ini dilihat sebagai perkembangan tingkat berpikir dalam membuat pertimbangan moral, dari suatu tingkat yang lebih rendah menuju suatu tingkat yang lebih tinggi (Elias, 1989).

Tujuan yang ingin dicapai oleh pendekatan ini ada dua hal yang utama. Pertama, membantu siswa dalam membuat pertimbangan moral yang lebih kompleks berdasarkan kepada nilai yang lebih tinggi. Kedua, mendorong siswa untuk mendiskusikan alasan-alasannya ketika memilih nilai dan posisinya dalam suatu masalah moral (Superka, et. al., 1976; Banks, 1985).

Pendekatan perkembangan kognitif pertama kali dikemukakan oleh Dewey (Kohlberg 1971, 1977). Selanjutkan dikembangkan lagi oleh Peaget dan Kohlberg (Freankel, 1977; Hersh, et. al. 1980). Dewey membagi perkembangan moral anak menjadi tiga tahap (level) sebagai berikut: (1) Tahap "premoral" atau "preconventional". Dalam tahap ini tingkah laku seseorang didorong oleh desakan yang bersifat fisikal atau sosial; (2) Tahap "conventional". Dalam tahap ini seseorang mulai menerima nilai dengan sedikit kritis, berdasarkan kepada kriteria kelompoknya. (3) Tahap "autonomous". Dalam tahap ini seseorang berbuat atau bertingkah laku sesuai dengan akal pikiran dan pertimbangan dirinya sendiri, tidak sepenuhnya menerima kriteria kelompoknya.

Piaget berusaha mendefinisikan tingkat perkembangan moral pada anak-anak melalui pengamatan dan wawancara (Windmiller, 1976). Dari hasil pengamatan terhadap anak-anak ketika bermain, dan jawaban mereka atas pertanyaan mengapa mereka patuh kepada peraturan, Piaget sampai pada suatu kesimpulan bahwa perkembangan kemampuan kognitif pada anak-anak mempengaruhi pertimbangan moral mereka.

Kohlberg (1977) juga mengembangkan teorinya berdasarkan kepada asumsi-asumsi umum tentang teori perkembangan kognitif dari Dewey dan Piaget di atas. Seperti dijelaskan oleh Elias (1989), Kohlberg mendefinisikan kembali dan mengembangkan teorinya menjadi lebih rinci. Tingkat-tingkat perkembangan moral menurut Kohlberg dimulai dari konsekuensi yang sederhana, yang berupa pengaruh kurang menyenangkan dari luar ke atas tingkah laku, sampai kepada penghayatan dan kesadaran tentang nilai-nilai kemanusian universal. Lebih tinggi tingkat berpikir adalah lebih baik, dan otonomi lebih baik daripada heteronomi. Tahap-tahap perkembangan moral diperinci sebagai berikut:

1 : Pra-konvensional

Pada tingkatan ini, anak merespon aturan tradisi, label baik-buruk; benar-salah, dengan menginterpretasi label dalam pemahaman hedonistik dan konsekuensi dari tindakan. Tingkatan ini juga menunjukkan bahwa individu menghadapi masalah moral dari segi kepentingan diri sendiri. Seseorang tidak menghiraukan apa yang dirumuskan masyarakat, akan tetapi mementingkan konsekuensi konsekuensi dari perbuatannya ( hukuman, pujian, penghargaan ). Anak cenderung menghindari perbuatan yang menimbulkan resiko. Tingkatan ini dibagi menjadi dua tahap :

Tahap 1 : Orientasi pada hukuman dan Kepatuhan. Jadi, alasan anak pada tahap ini bersifat phisik. Apa yang benar adalah bagaimana menghindari hukuman.

Tahap 2 : Orientasi pada instrumental. Tindakan yang benar apakah sudah sesuai atau memenuhi kebutuhan seseorang berdasarkan persetujuan Pada tahap ini adil dipandang sebagai sesuatu yang bersifat balas budi, saling memberi.

2. Konvensional

Pada tingkatan ini anak mendekati permasalahan dari segi hubungan individu- masyarakat. Seseorang menyadari bahwa masyarakat mengharapkan agar ia berbuat sesuai dengan norma-norma dalam masyarakat. Perhatian kepada nilai keluarga, kelompok atau bangsa diterima sebagai nilai dalam dirinya. Terdapat konformitas interpersonal.

Tahap 3: Orientasi “good boy-nice girl”. Persetujuan antar personal. Menjadi orang yang diharapkan , dan tingkah laku yang baik adalah menyenangkan atau menolong orang lain . Pertimbangannya adalah “perhatian” (ia berbuat baik). Motivasi perbuatan moral pada tingkatan ini ialah keinginan memenuhi apa yang diharapkan orang yang dihargai. Pada diri anak telah timbul kesadaran bahwa orang lain mengharapkan kelakuan tertentu daripadanya.

Tahap 4 : Orientasi Kesadaran sosial. Perilaku yang benar adalah memenuhi kewajiban ( kesadaran imperatif ). Pada tingkatan ini, anak tidak lagi bertindak berdasarkan harapan orang yang dihormati, namun apa yang diharapkan oleh masyarakat umum. Dalam tingkatan ini hukum tampil sebagai nilai yang utama, yang dapat mengatur kehidupan masyarakat.

3.Post-Konvensional

Ada usaha yang jelas untuk memiliki moral dan prinsip. Memandang prinsip sebagai identifikasi dirinya.

Tahap 5: Orientasi Kontrak sosial dan hak-hak individu. Tindakan yang benar ditentukan dalam istilah kebenaran individu secara umum dan standard yang sudah diuji secara kritis dan disetujui oleh seluruh masayarakat. Suatu perasaan kesetiaan kepada hukum demi kesejahteraan semua orang dan hak-haknya. Pada tahap ini memandang kelakuan baik dari segi hak dan norma umum yang berlaku bagi individu yang telah diselidiki secara kritis dan diterima baik oleh seluruh masyarakat Kewajiban moral dipandang sebagai kontrak sosial. Komitmen sosial dan legal dipandang sebagai hasil persetujuan bersama dan harus dipatuhi oleh yang bersangkutan.

Tahap 6 : Orientasi Prinsip Ethis Universal. Kebenaran ditentukan oleh prinsip ethis di dalam dirinya berdasar pada pemahaman logika universal ( keadilan, kesamaan hak dan kepatutan sebagai makluk individu). Seseorang bertindak menurut prinsip universal. Seseorang wajib menyelamatkan jiwa orang lain.

Asumsi-asumsi yang digunakan Kohlberg (1971,1977) dalam mengembangkan teorinya sebagai berikut: (a) Bahwa kunci untuk dapat memahami tingkah laku moral seseorang adalah dengan memahami filsafat moralnya, yakni dengan memahami alasan-alasan yang melatar belakangi perbuatannya, (b) Tingkat perkembangan tersusun sebagai suatu keseluruhan cara berpikir. Setiap orang akan konsisten dalam tingkat pertimbangan moralnya, (c) Konsep tingkat perkembangan moral menyatakan rangkaian urutan perkembangan yang bersifat universal, dalam berbagai kondisi kebudayaan.

Sesuai dengan asumsi-asumsi tersebut, konsep perkembangan moral menurut teori Kohlberg memiliki empat ciri utama. Pertama, tingkat perkembangan itu terjadi dalam rangkaian yang sama pada semua orang. Seseorang tidak pernah melompati suatu tingkat. Perkembangannya selalu ke arah tingkat yang lebih tinggi. Kedua, tingkat perkembangan itu selalu tersusun berurutan secara bertingkat. Dengan demikian, seseorang yang membuat pertimbangan moral pada tingkat yang lebih tinggi, dengan mudah dapat memahami pertimbangan moral tingkat yang lebih rendah. Ketiga, tingkat perkembangan itu terstruktur sebagai suatu keseluruhan. Artinya, seseorang konsisten pada tahapan pertimbangan moralnya. Keempat, tingkat perkembangan ini memberi penekanan pada struktur pertimbangan moral, bukan pada isi pertimbangannya.

2. Penerapan Moral Reasoning Dalam Pembelajaran

Pendekatan perkembangan kognitif (moral reasoning) mudah digunakan dalam proses pendidikan di sekolah, karena pendekatan ini memberikan penekanan pada aspek perkembangan kemampuan berpikir. Oleh karena, pendekatan ini memberikan perhatian sepenuhnya kepada isu moral dan penyelesaian masalah yang berhubungan dengan pertentangan nilai tertentu dalam masyarakat, penggunaan pendekatan ini menjadi menarik. Penggunaannya dapat menghidupkan suasana kelas. Teori Kohlberg dinilai paling konsisten dengan teori ilmiah, peka untuk membedakan kemampuan dalam membuat pertimbangan moral, mendukung perkembangan moral, dan melebihi berbagai teori lain yang berdasarkan kepada hasil penelitian empiris.

Proses pengajaran nilai menurut Model moral reasoning didasarkan pada delima moral, dengan menggunakan metode diskusi kelompok. Diskusi itu dilaksanakan dengan memberi perhatian kepada tiga kondisi penting. Pertama, mendorong siswa menuju tingkat pertimbangan moral yang lebih tinggi. Kedua, adanya dilemma, baik dilemma hipotetikal maupun dilemma faktual berhubungan dengan nilai dalam kehidupan seharian. Ketiga, suasana yang dapat mendukung bagi berlangsungnya diskusi dengan baik (Superka, et. al. 1976; Banks, 1985). Menurut Reimer (1983 : 84) terdapat 10 isu moral universal (1). Laws and rules, (2) Conscience, (3) Personal roles of affection, (4) Authority, (5) Civil rights, (6) Contract, trust, and justice in exchange (7) Punishmen, (8) The Value of life , (9) Property rights and values, (10) Truth

Goleman (2003) menjelaskan bahwa moral reasoning lebih bersifat Emosional inteligensi, sehingga emosional inteligensi mencerminkan karakter. Dengan demikIan, menurut peneliti implementasi model moral reasoning dapat membantu siswa untuk berpikir kritis dan mengelola emosi yang akhirnya menjadi warga yang baik. Oleh karena itu, agar siswa dapat mengemukakan pendapat dan dapat membuat keputusan dengan pertimbangan moral yang lebih tinggi (intelektual emosional) guru ataupun siswa harus kreatif dan enovatif untuk mencari atau membuat suatu masalah yang dilematis yang di diskusikan di dalam kelas

Metode diskusi adalah suatu cara mengajar yang dicirikan oleh suatu keterikatan pada suatu topik atau pokok pernyataan atau problem dimana para peserta diskusi dengan jujur berusaha untuk mencapai atau memperoleh suatu keputusan atau pendapat yang disepakati bersama. Diskusi sebagai metode pembelajaran lebih cocok dan diperlukan apabila guru hendak:

a. Memanfaatkan berbagai kemampuan yang ada pada siswa

b. Memberi kesempatan pada siswa untuk mengeluarkan kemampuannya

c. Mendapatkan balikan dari siswa apakah tujuan telah tercapai

d. Membantu siswa belajar berpikir secara kritis

e. Membantu siswa belajar menilai kemampuan dan peranan diri sendiri maupun teman-teman

f. Membantu siswa menyadari dan mampu merumuskan berbagai masalah sendiri maupun dari pelajaran sekolah

g. Mengembangkan motivasi untuk belajar lebih lanjut.

Lebih lanjut Roestiyah (1982: 56), menjelaskan bahwa metode diskusi dan kerja kelompok cukup efektif. Metode diskusi menurutnya cukup efektif karena dua hal yaitu dapat mempertinggi partisipasi siswa secara individual dan dapat mempertinggi kegiatan kelas sebagai keseluruhan. Sedangkan metode kerja kelompok memiliki keuntungan-keuntungan sebagai berikut (1) dapat memberi kesempatan kepada para siswa untuk menggunakan keterampilan bertanya dan membahas masalah, (2) memberikan kepada siswa lebih intensif mengadakan penyelidikan mengenai suatu kasus atau masalah, (3) dapat mengembangkan kepemimpinan dan mengajarkan keterampilan bersdiskusi, (4) memungkinkan guru untuk memperhatikan individu siswa akan kebutuhan belajar, (5) para siswa lebih aktif bergabung dalam pelajaran dan mereka akan berpatisipasi dalam diskusi (6) dapat memberikan kesempatan kepada para siswa untuk mengembangkan rasa menghargai kepada temannya yang telah menolong kelompok dalam mencapai tujuanya.

Menurut penulis dengan memunculkan isue moral yang delimatis dan membahasnya dalam diskusi kelompok sebagaimana tuntutan model delima moral maka akan mendorong siswa untuk berani mengemukakakan pendapat, mengambil keputusan, menghargai orang lain, dan kemauan bekerjasama sehingga siswa akan dapat berpikir secara kritis dengan tetap menghargai dan bekerjasama dengan orang lain



3. Peran Guru Dalam Pembelajaran Model Moral Reasoning

Peran guru dalam model moral reasoning sangat strategis terutama dalam memotivasi siswa untuk lebih aktif dalam pembelajaran. Peran guru dalam fase diskusi dengan menggunakan model moral reasoning adalah: 1) memastikan anak didik memahami dillema yang disodorkan 2). Membantu anak didik menghadapi komponen-komponen moral yang terdapat dalam permasalahan 3). Mendorong dasar pemikiran anak didik bagi keputusan yang akan diambil dan 4). Mendorong anak didik untuk saling berinteraksi. ( Hersh, 1982 ; Fraenkel, 1977; Nasution, 1989 ). Sedangkan, langkah-langkah diskusi moral dalam penalaran moral menurut Fraenkel ( 1977) adalah sebagai berikut:

1). Menunjukkan isu moral. Anak didik mengidentifikasi situasi dalam dillema moral yang membutuhkan resolusi dengan pertanyaan : “seharusnya, semestinya”, baik ceritera dillema moral yang diberikan oleh guru, maupun bahan informasi yang digali sendiri oleh anak didik melalui membaca di media massa untuk dibahas dan dilaporkan.

2). Mengajukan pertanyaan : “ mengapa” dan jawaban :” alasan moral saya “

3). Memperumit situasi, dengan menambah masalah untuk meningkatkan kompleksitas konflik.

Dengan demikian, menurut peneliti hal yang harus dilakukan guru dalam proses diskusi adalah meenyajikan cerita yang mengandung dilemma. Dalam diskusi siswa didorong untuk menentukan posisi apa yang sepatutnya dilakukan serta mengajukan alasan-alasannya. Kemudian meminta siswa mendiskusikan tentang alasan-alasan itu dengan teman-temannya. Sedangkan, yang harus dilakukan oleh siswa dalam model dilema moral adalah memperhatikan atau mencermati cerita dilematis dari kejadian masyarakat atau yang dibuat oleh guru, mengindentifasi permasalahan dalam dilema moral, aktif dalam mendiskusikan cerita delimatis, mengambil keputusan/sikap terhadap cerita delimatis, mengemukakan pendapat berkaitan delima yang disertai alasan dengan pertimbangan moral, mendengar tanggapan reaksi atau tanggapan kelompok lainnya terhadap pendapat yang baru dikemukakan, mendengarkan dengan teliti dan mencoba memahami pendapat yang dikemukakan oleh siswa atau kelompok lain, menghormati pendapat teman-teman atau kelompok lainnya walau berbeda pendapat.

Aplikasi dalam pembelajaran , instrumen untuk menilai peningkatan dan perkembangan moral Kohlberg terdiri atas situasi, di mana siswa diberi skor menurut aspek mana yang dominan dalam tahapan perkembangan moral ketika memberikan jawaban atas pertanyaan yang ada pada setiap ceritera dillema moral dengan menggunakan metode Global Scoring Method ( GSM ) yang bertumpu pada skor final untuk setiap ceritera dillema ( Porter, 1972 ; Cohen, 1978 ).



4. Hasil Penelitian yang relevan

1. Hardoko (2004) bahwa penggunaan model moral reasoning dalam pembelajaran PKn SMP di Samarinda melalui penelitian tindakan kelas (PTK) dikatakan siswa memiliki kemampuan untuk membuat pertimbangan moral jika dihadapkan pada situasi yang dilematis

2. Ryan, (2003) Pembelajaran memecahkan masalah dengan menggunakan moral reasoning ternyata memberikan pengaruh iklim belajar dan kemampuan mengemukakan pendapat secara positif serta memberikan dukungan kepada pendidikan karakter pada siswa SMU di Amerika.

3. Harstone & May di Amerika (dalam Downey & Kelly,1976), disebutkan bahwa terdapat korelasi yang rendah antara pengetahuan moral dengan tingkah laku moral anak. Ia menjelaskan bahwa seorang anak yang “tahu itu baik, namun berbuat tidak baik”. Dengan demikian anak bersifat verbalistik. Ia kemudian merekomendasi : “anak harus dididik agar sanggup berpikir untuk dirinya sendiri dan mengambil keputusan moral” melalui proses pendidikan moral yang tidak dogmatis, indoktrinatif serta jauhi sikap guru yang otoriter



5. Kerangka Berpikir

Berdasarkan kajian pustaka dan hasil penelitian bahwa model moral reasoning yang implentasinya dalam pembelajaran menggunakan cerita delima moral melalui diskusi kelompok, dapat mendorong siswa untuk berpikir aktif tentang masalah-masalah moral dan dapat membuat keputusan-keputusan moral. Selain itu, moral reasoning juga mempengaruhi iklim belajar dan kemampuan mengemukakan pendapat secara positif. Dengan demikian, model Moral Reasoning diyakini akan dapat meningkatan keberanian siswa untuk mengemukakan pendapat dan mengambil keputusan dengan pertimbangan moral. Kerangka berpikir tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Penerapan Model Moral Reasoning

Diskusi Dilema Moral

 
Iklim Belajar & Kelas


Keberanian mengemgemukakan pendapat

Perkembangan Moral Siswa

 
5. Hipotesis Tindakan

Berdasarkan kajian pustaka dan kerangka berpikir, maka hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah : “Dengan menerapkan model moral reasoning maka keberanian siswa mengemukakan pendapat dan mengambil keputusan dengan alasan pertimbangan moral pada mata pelajaran PKn di SMP Negeri 22 Samarinda meningkat”

F. Metode Penelitian

1. Setting Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada kelas IXA SMP Negeri 22 Samarinda pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan pada tahun pembelajaran 2008/2009. Kompetensi dasar yang akan diteliti yaitu menjelaskan pentingnya partisipasi masyarakat dalam perumusan kebijakan publik di daerah. Kondisi siswa kelas ini secara akedemik memiliki kemampuan baik, karena kumpulan siswa dari berbagai kelas yang memiliki nilai rata rata di atas 75. Latar belakang sosial ekonomi siswa heterogin. Namun demikian, kelas ini memiliki kelemahan antara lain kurang berani mengemukakan pendapat di depan umum.

2. Waktu Penelitian

Pelaksanaan penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 2008 sampai November 2007, dengan perincian sebagai berikut:

1. Tahap persiapan, minggu ketiga Agustus 2008

2. Tahap pelaksanaan, minggu Ke 2 Oktober 2008 sampai November 2008

3. Tahap laporan, minggu ke 3 November sd. Minggu 4 November 2008

3. Variabel dan Difinisi Operasional

Beberapa variabel atau obyek yang akan diteliti serta definisi operasional dalam rangka peningkatan kemampuan siswa mengemukakan pendapat dan mengambil keputusan dengan pertimbangan moral dengan pokok bahasan Otonami Daerah yaitu sebagai berikut:

a. Aktivitas siswa dalam pembelajaran moral reasoning adalah banyaknya aktivitas yang dilakukan siswa selama proses belajar mengajar dan diamati dengan instrumen lembar observasi aktivitas siswa (Instrumen 01). Aktivitas siswa yang dimaksud meliputi mendengarkan atau memperhatikan penjelasan guru atau teman, membaca dan mendengarkan cerita delima moral), keberanian mengemukakan pendapat, kemampuan mengambil keputusan dengan pertimbangan moral, melakukan kerja sama , dan menghargai pendapat.

b. Aktivitas guru dalam mengelola pembelajaran moral raesoning dalam adalah sejumlah keterlibatan guru selama proses belajar mengajar yang diamati dengan instrumen lembar observasi (Instrumen 02). Aktivitas guru yang dimaksud meliputi kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan penutup yaitu memeriksa kesiapan siswa, melakukan apersepsi, menyampaikan tujuan pembelajaran, memotivasi siswa, menyajikan informasi tentang materi pelajaran, mendorong berani mengemukakan pendapat dan mengambil keputusan, mendorong siswa untuk bekerja sama atau berinteraksi dalam diskusi, dan mengelola kegitaan pembelajaran sesuai kaidah pembelajaran moral reasoning)

c. Perkembangan moral siswa adalah tingkat perkembangan moral siswa dilihat dari alasan- alasan yang dikemukakan dari cerita dilema moral berdasarkan 6 tingkatan teori Kohlberg .

Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan dengan tiga siklus, dan tiap-tiap siklus dilaksanakan sesuai dengan perubahan aktivitas dan kompetensi yang dicapai, berdasarkan perencanaan yang telah didesain sebelumnya. Pengamat melakukan observasi terhadap kegiatan yang dilaksanakan sebagai bahan diskusi untuk tujuan perbaikan.

Selain itu, juga dilakukan wawancara dengan siswa untuk mengetahui tanggapan siswa tentang model moral reasoning dan kekurangan pelaksanaan moral reasoning dalam proses pembelajaran. Berdasarkan hasil belajar (tingkatan perkembangan moral), hasil observasi dan wawancara peneliti melakukan diskusi untuk mengkaji kelemahan guna meningkatkan proses pembelajaran (refleksi).

Secara lebih ringkas prosedur pelaksanaan penelitian tindakan kelas ini meliputi: (1) perencanaan, (2) pelaksanaan tindakan, (3) observasi, dan (4) refleksi. Beberapa hal yang dilaksanakan dari tiap tahapan adalah :

a. Perencanaan:

Kegiatan ini meliputi pembuatan skenario pembelajaran antara lain menetapkan metode pembelajaran yang berorientasi pada keterlibatan siswa sehingga siswa berani mengemukakan pendapat dan mengambil keputusan dengan alasan dan pertimbangan moral yaitu menggunakan model pembelajaran Moral Reasoning dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Peneliti menyiapkan cerita moral yang delimatis yang berasal dari kejadian masyarakat atau cerita fiftif.

2. Membuat lembar pengamatan untuk mengamati aktivitas siswa maupun aktivitas guru

b. Pelaksanaan tindakan

Dalam fase ini dilaksanakan proses belajar mengajar, dengan menekankan aspek aktivitas siswa terutama dalam mengemukakan pendapat dan mengambil keputusan dengan alasan pertimbangan moral .

c. Observasi

Dalam tahap ini dilakukan observasi terhadap pelaksanaan tindakan dengan menggunakan lembar observasi yang telah dipersiapkan.

d. Refleksi

Data-data yang diperoleh melalui observasi dikumpulkan dan segera dianalisis. Berdasarkan hasil observasi inilah peneliti dapat melakukan refleksi terhadap pembelajaran yang telah dilaksanakan. Berdasarkan hasil refleksi ini peneliti dapat mengetahui titik lemah maupun kelebihan sehingga dapat menentukan upaya perbaikan pada siklus berikutnya. Proses ini akan berlangsung tiga siklus, sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.

3. Sumber, Jenis, dan Tehnik Pengambilan Data

a. Sumber data dalam penelitian ini adalah siswa dan guru dalam proses belajar mengajar

b. Jenis data yang diperoleh dalam penelitian ini meliputi :

1. Hasil observasi (aktivitas siswa dan guru)

2. Hasil wawancara (Tanggapan tentang model moral reasoning)

3. Hasil Kerja Siswa (Tingkatan perkembangan moral siswa)

c. Tehnik Pengumpulan Data

Tehnik Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan Observasi dukumen, dan Wawancara

4. Validitas Data

Validitas ini dimaksudkan sebagai pembuktian bahwa data yang diperoleh peneliti sesuai dengan yang benar-benar terjadi di lapangan dan sesungguhnya. Dalam penelitian ini digunakan democratic validity, artinya validitas ini berhubungan dengan tingkat kebenaran penelitian kolaboratif dan menerima masukan-masukan yang multiple (Burns, 1999: 161).

Selain pembuktian data dengan cara Burns, penelitian ini juga menggunakan triangulasi, yaitu suatu cara yang paling umum dan terbaik untuk mengecek validitas data. Terdapat tiga macam triangulasi yaitu: pemeriksaan yang menggunakan sumber data, metode, dan teori (Moleong, 1991: 176). Triangulasi sumber data digunakan dengan mengecek beberapa sumber data, misalnya dari beberapa orang guru. Metode digunakan dengan membandingkan data yang diperoleh melalui observasi, wawancara maupun dokumen. Sedangkan teori digunakan dengan melakukan kaji ulang setelah tindakan selesai dilaksanakan, mengenai apakah teori yang dipakai sebagai landasan masih sesuatu atau tidak.



5. Teknik Analisa Data

Analisis data dalam penelitian tindakan yaitu sejak tindakan pembelajaran dilaksanakan sampai pada pengembangan dan proses refleksi sampai penyusunan laporan. Teknik analisis data yang digunakan adalah model alur yang terekam dalam catatan lapangan, yang terdiri dari tiga alur kegiatan yang berlangsung secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan (Miles & Huberman, 1992: 20).

Reduksi data adalah kegiatan pemilihan data, penyederhanaan data serta transformasi data kasar dari catatan pengamatan. Hasil reduksi berupa uraian singkat yang telah digolongkan dalam suatu kegiatan tertentu. Penyajian data berupa sekumpulan informasi dari hasil rekaman pembelajaran dan pengamatan yang disusun, secara kolaborasi antara peneliti, guru dan siswa, sehingga mudah dipahami makna yang terkandung di dalamnya. Penarikan kesimpulan juga dilakukan secara kolaborasi yaitu dari peneliti dan guru serta subyek didik agar hasil lebih bermakna untuk peningkatan pembelajaran berikutnya, kemudian diadakan verifikasi untuk memperoleh kesimpulan yang kokoh, dengan cara diskusi bersama mitra kolaborasi.

4. Indikator Kinerja

Indikator keberhasilan dalam penelitian ini apa bila guru dapat melaksakanakan pembelajaran dengan baik diikuti dengan keterlibatan aktif siswa dalam proses belajar mengajar, dan setelah pelaksanaan belajar mengajar siswa dapat menunjukan unjuk kerja yang positif. Aktivitas siswa dalam proses pembelajaran terutama pada keberanian siswa mengemukakan pendapat dan mengambil keputusan dengan alasan dan pertimbangan moral.

G. Jadwal Penelitian



H. Personal Penelitian

Jumlah Personal Peneliti 1 orang.

Nama : Mulyadi, M.Pd.

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Pangkat/Jabatan : Pembina/Guru

Mata Pelajaran : Pendidikan Kewarganegaraan

Lembaga/Sekolah : SMP Negeri 22 Samarinda

Pengalaman Penelitian:

: 1. Skripsi (1998) : Peran Guru Menunjang Pelaksanaan Tata Tertib Sekolah

2. Tesis (2003) : Penanaman Nilai Demokrasi Melalui Pembelajran PPKn

3. PTK (1999) : Meningkatkan Aktivitas Siswa dengan Model VCT (Value crarification technik) pada Mata Pelajaran PPKN

I. Lampiran

1. Daftar Pustaka



Banks, J.A. 1985. Teaching strategies for the social studies. New York: Longman
Burns, Anne. 1999. Collaborative action research for English language teachers. Cambridge: Cambridge University Press.

Elis, J. L. 1989. Moral education: secular and religious. Florida: Robert E. Krieger Publishing Co., In
Fraenkel, J.R. 1977. How to teach about values: an analytic approach. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Goleman, D. 2003. Intelegensi Emosional. Alih bahasa : Hermaya, T. Jakarta : P.T.

Gramedia Pustaka Utama.

Hardoko, A. 2007. Pengembangan Model Kombinasi Moral Reasoning Kooperatif PKn Pada Siswa SMP Berbeda Jenis Kelamin Serta Pengaruh Implementasinya Terhadap Kematangan Moral Siswa. Samarinda. Universitas Mulawarman

Hersh, R. et al. 1982. Models of Moral Education. New York : Longman

Kohlberg, L. 1971. Stages of moral development as a basis of moral education. Dlm. Beck, C.M., Crittenden, B.S. & Sullivan, E.V.(pnyt.). Moral education: interdisciplinary approaches: 23-92. New York: Newman Press.

Kohlberg, L. 1971. Moral Education of Psychological View ( dalam Lee C. Deighton

: The Encyclopedia of Education, Vol 6. The Macmillan Company.



Kohlberg, L. 1977. The cognitive-developmental approach to moral education. Dlm. Rogrs, D. Issues Lungdren, L. 1994. Cooperative Learning in The Science Classroom. New York: McGraw Hill Companies.



Mathew, M. B. & Hoberman, A. M. 1984. Qualitative data analysis. London New Delhi : Sage Publications Beverly Hills.



Moleong, L. J. 2001. Metodologi penelitian kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Reimer, J. et al. 1979. Promoting moral growth from piaget to kohlberg. New york & London: Longman Inc.

Ryan, K. 2003. Character Education: Our High School’s Missing-Link, Educational. Week. http:/www.edweek.org/ew. Diakses 12 Nopember 2004



Roestiyah. 1982 . Masalah masalah ilmu keguruan. Jakarta: Bina Aksara.

Superka, D.P. 1973. A typology of valuing theories and values education approaches. Doctor of Education Dissertation. University of California, Berkeley.

Superka, D.P., Ahrens, C., Hedstrom, J.E., Ford, L.J. & Johnson, P.L. 1976. Values education sourcebook.Colorado: Social Science Education Consortium, Inc.

Thompson, M., McLaughlin, C.W., & Smith, R.G. 1995. Merril Physical Science Teacher. Wraparound Edition. New York: Glencoe McGraw-Hill

Windmiller, M. 1976. Moral development. Dlm. Adams. J.F. (pnyt.). Understanding adolescence: current developments in adolescent psychology: 176-198. Boston: Allyn and Bacon, Inc.

Zakaria,T. R. 2000. Pendekatan pendekatan pendidikan nilai dan implementasi dalam pendidikan budi pekerti. http:// www.pdk.go.id./jurnal/26/htm. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. 26, Diambil pada tanggal 30 Maret 2002.



Dilema Ibu Rumah Tangga Bekerja Di Luar Rumah

Oleh Mulyadi, M.Pd.

Wakil Sekretaris PGRI Samarinda, Pemerhati Pendidikan dan Moral Anak (PPMA)
Dimuat Harian Kaltimpost tanggal 26 Desember 2005

Tulisan ini penulis hadirkan dalam rangka memperingati hari Ibu tanggal 22 Desember 2005, dan berusaha memaparkan delima seorang ibu rumah tangga bekerja di luar rumah. Seorang ibu memiliki peranan penting dan stategis dalam berbagai kehidupan, baik di keluarga, masyarakat maupun kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun demikian, seorang ibu sering mendapatkan perlakuan yang tidak semestinya diterima. Dalam masyarakat kita masih meremehkan peran ibu. Mereka dianggap sebagai konco wingking (teman dibelakang) artinya seseorang yang pekerjaanya hanya memasak dan mengasuh anak. Bahkan masih ada sebagian suami yang berpola pikir istri hanyalah sebagai pemuas nafsu.

Dalam era reformasi paradigma tersebut seharusnya sudah tidak ada lagi. Dalam era global sekarang ini, sangat memerlukan peran yang lebih dari seorang ibu. Seorang ibu tidak hanya sebagai pendamping suami dan pendidik anak saja tetapi lebih kompleks. Maka dari itu, hal ini memerlukan kerja keras dan dorongan dari semua pihak terutama sang suami agar istrinya dapat lebih berperan dalam berbagai kehidupan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memberikan kesempatan dan dorongan untuk lebih maju dan berprestasi.

Ibu berfungsi sebagai pendidik dan pengasuh bagi putra-putrinya serta bertanggung jawab atas perkembangan pribadi anak, baik secara fisik, mental maupun sosial. Anak membutuhkan perhatian, bimbingan, nasehat, pengawasan dan contoh-contoh yang baik dalam berbagai hal. Contohnya dalam berbicara dan bertingkah laku, anak banyak meniru perilaku orang yang berada di sekelilingannya baik dari ibu, bapak maupun anggota keluarga yang lain. Maka tidaklah mengherankan jika anggota keluarga yang sering berkata kotor tidak harmonis berdampak kepada anaknya. Sebaliknya keluarga yang harmonis hubungan sesama anggota keluargannya juga memetik hasil yang telah dilakukannya

Untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan membantu sang suami mencari nafkah, tidak sedikit seorang ibu harus bekerja di luar rumah. Profesi yang dijalani antara lain sebagai PNS, politisi, karyawan perusahaan, maupun sebagai penyapu jalanan. Hal ini dilakukan semata-mata untuk mendukung kebutuhan keluarga dan demi rasa cintanya kepada anak dan suami

Namun demikian, tidak semua suami dapat memberikan kesempatan kepada istrinya untuk berkembang dan berkarir dengan berbagai alasan seperti takut tersaingi, pendidikan anak tidak terurus, takut terpengaruh perilaku negatif dll. Jika yang terjadi demikian, apa yang harus dilakukan oleh istri apakah menerima begitu saja kemauan suami? Atau sebaliknya melawan sang suami. Untuk menyelesaikan hal tersebut hendaknya dilakukan dengan cara damai, bermusyawarah untuk kebaikan bersama. Sebagai seorang suami seharusnya berpikir bijaksana dan obyektif, jika memang istrinya memiliki kemampuan mengapa tidak diizinkan untuk berkarir dengan catatan masalah keluarga tidak terabaikan.

Bekerja di luar rumah bagi sebagian ibu rumah tangga masih menjadi dilema. Pada satu sisi mereka mendapatkan keuntungan karena mendapatkan penghasilan tambahan, tetapi di sisi lain anak-anak memerlukan kehadirannya. Di samping itu, ibu rumah tangga yang bekerja di luar rumah memiliki dampak baik pada diri sendiri maupun kepada putra putrinya. Dampaknya terhadap anak sangat beragam, antara lain menyangkut kesehatan, keamanan, kebahagiaan, pendidikan nilai-nilai agama dll. Kemudian muncul pertanyaan apakah ibu yang bekerja di luar rumah berpengaruh negatif terhadap perkembangan anak? Hal ini memerlukan telaah yang cermat sebagai jawaban yang komprehensip.

Dalam kenyataanya, tidak semua anak yang ibunya berkerja diluar rumah perkembangan jiwa dan fisiknya negatif. Hal ini disebabkan mereka tetap mengadakan hubungan dengan anak dan keluargannya secara harmonis. Oleh kerena itu, yang terpenting yang harus dilakkan oleh seorang ibu adalah bagaimana mereka dapat mengelola waktu secara efektif dan efesien serta komunikasi yang interaktif antara anggota keluarga.

Tantangan bagi ibu rumah tangga yang bekerja di luar rumah sangat berat. Mereka sebagai ibu rumah tangga bertanggung jawab terhadap suami dan anak-anaknya. Sedangkan, sebagai pekerja mereka yang harus mengikuti peraturan yang berlaku di tempat kerja. Sebagai konsekuensinya, mereka harus pandai-pandai membagi waktu dan menjaga diri. Dengan demikian, mereka dapat menjalan fungsi gandannya yaitu mendidik anak, mengurus rumah tangga, dan sebagai wanita karir berprestasi yang aktif dalam masyarakat..

Anak sesungguhnya membutuhkan “afeksi” yang langsung dari orang tua dan itu tidak bisa digantikan perannya oleh pembantu atau orang lain. Keakraban, kedekatan hubungan anak dengan orang tua merupakan salah satu faktor yang membuat anak tumbuh dan berkembang sehingga setelah dewasa mempunyai perhatian pada orang lain. Menurut (Khairunnisa, 2001) dalam artikelnya mengatakan : “Merawat anak dan mendidiknya pada era teknologi bukan perkara mudah apalagi permainan anak dan tontonannya tidak lagi berupa hal-hal sederhana tapi perlu perhatian dan wawasan luas karena hal tersebut bagian dari target kapitalisme global”.

Berdasarkan hal tersebut sebagai orang tua kita harus selektif dalam memilih program tanyangan televisi. Anak harus didampingi saat mereka menonton televisi sehingga sedini mungkin dapat kita cegah pengaruh pengaruh negatif. Dengan mendampingi anak menonton tanyangan televisi kita dapat menjelaskan hal hal yang tidak difahami oleh anak. Disitulah terjadi dilog yang harmonis dan mesra antara orang tua dengan anak..

Mendidik anak bukan hanya tanggung jawab ibu semata tetapi merupakan tanggung jawab bersama antara Ayah dan Ibu.Tidaklah adil jika masalah pendidikan anak sepenuhnya diserahkan kepada Ibu, apalagi dia juga bekerja di luar rumah membantu suami mencari nafkah. Tindakan mau menang sendiri dan sikap feodal sang suami harus ditinggalkan. Jika tidak maka akan berakibat fatal dalam keluarganya (disharmonis) karena ada yang tertekan dan tersiksa.

Ada beberapa srtategi dan langkah yang dapat digunakan untuk oleh orang tua terutama ibu dan bapak yang bekerja diluar rumah agar tetap dapat memonitor, berkomunikasi secara mesra sesama anggota keluarga sehingga keharmonisan rumah tangga terjaga. Strategi tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, memberikan keteladan pada anak. Masyarakat kita merupakan masyarakat patneralistik artinya selalu melihat atasanya atau pimpinan dalam bertindak. Sebagai pemimpin dalam keluarga setiap orang tua menghendaki anaknya berperilaku baik seperti sopan, berdisiplin, taat beribadah, dan taat kepada kedua orang tuanya. Dalam hal ini anak sering menghadapi masalah delematis disatu sisi orang tua menghendaki mereka berbuat baik tetapi disisi lain orang tua tidak memberikan contoh pada anak-anaknya.

Akibatnya apa yang diinginkan orang tua agar anaknya berperilaku baik tidak terwujud, malah perilaku yang muncul dari anak justru sebaliknya. Oleh karena itu, tindakan yang kita lakukan haruslah dapat menjadi contoh bagi anak, baik ucapan maupun perbuatan. Kita harus menyadari bahwa anak pertama kali belajar dari orang tuanya dan lingkungan keluarganya. Apa yang sering dilakukan oleh ortu biasanya itu juga yang dilakukan anak.

Kedua, meluangkan waktu untuk berkumpul dengan keluarga. Hubungan orang tua dengan anak yang baik memerlukan waktu yang memungkinkan mereka berkumpul secara fisik. Hal ini lamanya tidak perlu berjam-jam, yang penting orang tua secara konsisten meluangkan sedikit waktu bersama anak-anak setiap hari. Tujuannya adalah untuk mengetahui dan memahami kebutuhan anak-anak serta berbagi rasa sesama anggota keluarga. Dengan demikian, dapat dikembangkan sikap toleransi yang akhirnya menciptakan ketentraman keluarga. Saat berkumpul bersama anggota keluarga orang tua hendaknya menjauhkan gangguan dan lebih berkonsentrasi kepada mereka. Ingat bahwa waktu adalah tonggak penyangga pengasuhan yang baik.

Ketiga, selalu siap untuk menjadi pendengar yang baik. Kebanyakan ortu menganggap dirinya selalu benar, sedangkan pendapat anak diposisikan salah bahkan ada orang tua yang tidak mau sedikitpun mendengarkan apa yang ingin disampaikan anak. Orang tua biasanya merendahkan gagasan anaknya atau rajin mengkritik kata-katanya. Akibatnya anak menarik diri dan memilih lebih dekat kepada teman. Sebenarnya jika anak-anak mengetahui bahwa kita benar-benar mendengarkan apa yang mereka katakan, mereka akan lebih bersemangat untuk berbagi perasaan dan pikiran. Maka dari itu, jika ingin memiliki pengaruh dalam kehidupan anak, orang tua harus mau menjadi pendengar yang baik.

Keempat, menentukan harapan anak yang jelas. Memberitahukan anak apa yang kita harapkan darinya akan membentuk perilaku yang baik. Hal ini bukan berarti orang tua memaksakan kehendak kepada anak untuk mengikuti kemauannya tetapi anak tetap diberikan kebebasan memilih apa yang diinginkan, orang tua hanya sebagai motivator dan pengiring apa yang diinginkan anak tersebut. Jangan ragu-ragu melibatkan mereka dalam pekerjaan sehari-hari untuk membantu menyelesaikan tugas-tugas di lingkungan rumah. Melibatkan anak dalam urusan keluarga dapat menumbuhkan sikap positip sehingga mereka merasa menjadi bagian dari keluarga.

Kelima, jangan membiarkan diri merasa bersalah. Banyak orang tua merasa bersalah karena bekerja seharian di luar rumah, kewajiban untuk mendidik anak terabaikan. Sebagai kompensasinya, mereka membiarkan anak berperilaku buruk dan tidak disiplin. Orang tua yang baik adalah yang tegas namun tetap mengedepankan pendekatan Psykis dan dialogis. Merasa bersalah atas tindakan yang dilakukan kepada anak justru merupakan tindakan kontraproduktif yang tidak dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi. Oleh karena itu, sebagai orang tua harus berusaha untuk menghilangkan selalu merasa bersalah yang ada pada dirinya.

Keenam, jangan menggantikan kasih sayang atau waktu dengan uang. Kasih sayang arang tua terhadap anak merupakan benih yang dapat menciptakan keakrapan dan ketentraman dalam keluarga. Namun, penempatan kasih sayang yang kurang tepat atau salah justru mendatangkan masalah. Misalnya memanjakan anak dengan banyak memberi uang saku untuk belanja di sekolah dan memberikan apa yang diminta. Tindakan ini akan mengakibatkan anak melakukan tindakan yang salah.

Memang mengajarkan anak-anak bagaimana mengelola uang itu penting, tetapi jangan gunakan uang sebagai pengganti waktu atau kasih sayang. Kita sebagai orang tua harus berusaha mendidik anak untuk mandiri, bagaimana memperoleh sesuatu dengan berusaha dan sesuai dengan keinginanya. Hal ini tentu dengan bekerja keras, bahwa sesuatu yang diperoleh melalui bekerja akan lebih terasa nilainya.

Ketujuh, jangan sering menganti pengasuh. Menggunakan pengasuh merupakan alternatip bagi suami istri yang bekerja di luar rumah. Namun, hendaknya jangan sering ganti pengasuh karena dapat mempengaruhi psikis anak (membahayakan anak). Sebelum menyerahkan anak kepada seorang pengasuh, kita harus memberikan kesempatan untuk terciptanya keakraban dan kedekatan antara anak dan si calon pengasuh.

Kedelapan, memberikan pengawasan. Anak biasanya akan mengeluh kalau diawasi secara ketat, tetapi anak-anak yang tidak diawasi juga merasa bahwa orang tua mereka tidak peduli dengan mereka. Sebagai konsekuensinya ortu tetap memberikan pengawasan tetapi dengan kooperatif dalam artian kita memberikan kebebasan kepada anak namun pengawasan tetap kita lakukan. Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang bermasalah sering berasal dari keluarga yang kurang atau tidak diawasi. Oleh karena itu, Orang tua perlu mengetahui siapa teman-teman anaknya sehingga lebih mudah untuk mengontrol.

Kesembilan, berikan perhatian dan penghargaan. Biasanya orang tua cenderung lebih memperhatikan anak-anak ketika mereka menjengkelkan. Sebaliknya saat mereka berperilaku yang positif atau baik malah tidak diperhatikan. Sebagai ortu kita hendaknya juga memperhatikan anak jika berperilaku baik, berilah perhatian dan penhargaan kepadanya misalnya ucapaan selamat atau sanjungan atas tindakan yang telah dilakukan. Hal ini akan mendatangan perilaku yang positip pada diri anak. Perhatian dan dorongan dari ortu dapat membangkitkan motivasinya untuk berbuat lebih dari apa yang telah mereka lakukan.

Kesepuluh, memberikan hukuman untuk mendidik. Orang tua yang bekerja di luar rumah, cenderung mengalami kelelahan dan mudah jengkel. Oleh karena itu, wajar jika mereka lebih mudah kehilangan kontrol terhadap anak-anak. Hal ini dapat menimbulkan masalah dalam keluarga. Ortu harus memegang prinsip “Janganlah menghukum anak jika kita sendiri tidak dapat mengontrol diri dengan baik”. Menghukum anak hanyalah bermaksud untuk mendidik, bukan untuk melampiaskan kemarahan. Namum demikian, sejauh mungkin kita harus menghindari hukuman fisik karena tindakan ini kontraproduktif. Semoga strategi ini dapat membantu Anda dalam mendidik anak. Amin.

Menengok Potret Profesi Guru


Oleh : Mulyadi, M.Pd.

Guru SMPN 22 Samarinda, Wakil Sekretaris PGRI Samarinda.

Dimuat Harian Kaltimpost tanggal 25 November 2005

Artikel ini penulis hadirkan dalam rangka memperingati hari Guru Nasional tanggal 25 November 2005 dan sekaligus mengangkat problem yang berkaitan dengan profesi guru khususnya di Kaltim. Sebelum kita membahas potret profesi guru marilah kita simak penggalan syair himne guru berikut :

“Terpujilah wahai engkau Bapak Ibu guru. Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku. Bagai prasasti trima kasihku untuk pengabdianmu …, Engkau bagai pelita dalam kegelapan. Engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa’’.

Lagu himne guru ini sering dinyayikan oleh para siswa pada saat upacara bendera atau perpisahan. Siapapun yang mendengarkan akan tersentuh hatinya, bahkan tidak jarang meneteskan air mata. Syair Lagu himne guru ini berisi ucapan terimakasih dan sanjungan terhadap profesi guru yang telah banyak jasanya terhadap bangsa dan negara. Yang masih menjadi pertanyaan dalam hati sang guru adalah apakah benar bahwa namanya selalu dikenang oleh mantan muridnya? Apakah benar masyarakat dan pemerintah berterima kasih secara tulus? Jika benar tindakan apa yang telah diperbuat masyarakat dan pemerintah untuk peningkatan profesionalisme maupun kesejahteraan guru?

Realitasnya profesi guru tidak semuanya seperti apa yang digambarkan dalam lagu himne guru. Tidak jarang murid yang dulu dididik dengan kesabaran dan keikhlasan, sekarang bersikap sebaliknya jika bertemu atau berpapasan di jalan mereka masa bodoh dan cuek. Tentunya tindakan tersebut sangat menyakitkan hati sang guru.

Guru seharusnya tidak cukup hanya diberikan ucapan terima kasih, sanjungan, dan hiburan melalui lagu lagu. Hal yang lebih penting bagi guru adalah adanya peningkatan profesionalisme, perlindungan, kesejahteraan, penghargaan yang layak, dan kelancaran karir.

Para guru dituntut untuk profesional dalam bidangnya, tetapi disisi lain pengabdian dan kerja kerasnya kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah. Nasip guru mulai dari orde lama sampai dengan era reformasi masih sangat memprehatinkan tidak semujur profesi lainnya. Hal ini disebabkan pemerintah ataupun yayasan (guru swasta) belum dapat memberikan gaji yang layak bagi guru seperti negara Brunai, Malaysia, Jepang, maupun Amerika Serikat. Gaji yang mereka diterima tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya apalagi untuk rumahtangganya.

Guru dalam memenuhi kebutuhan hidup yang layak, mereka harus berjuang dan bekerja keras mencari penghasilan tambahan. Hal yang dilakukan guru khususnya di kaltim antara lain mengajar di sekolah lain, memberikan les privat, berjualan, bahkan menjadi tukang ojek. Oleh karena itu, tidaklah salah jika muncul pertanyaan bagaimana mereka dapat berpikir profesionalisme jika kebutuhan pokoknya saja (karbo hidrat) tidak terpenuhi? Apalagi untuk membeli buku-buku yang menunjang profesinya, bagaimana pendidikan dapat maju jika pendidiknya masih banyak menghadapi permasalahan?. Pertanyaan pertanyaan tersebut memerlukan jawaban berupa tindakan (kebijakan) nyata pemerintah dan pemerintah daerah untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi guru. Namun demikian, apa yang telah dilakukan guru tidak semuannya mendapat tanggapan positif dari masyarakat, bahkan menumpahkan semua kesalahan pada guru seperti yang disampaikan Nandar Suryadarna (kalimpost 12/11/2005)

Penulis tidak sependapat dengan sebagian komentar Nandar Suryadarna Ketua Jaringan Antikorupsi untuk Keadilan Rakyat (Jantrak) lewat artikelnya berjudul Sukses Pendidik Melalui Keteladanan (Kaltimpost 12/11/2005) tersebut. Dalam tulisannya dia mengatakan “Banyaknya koruptor tak terlepas dari realitas "guru kencing berdiri, murid kencing berlari." Membenahi semua ini harus dimulai dari para pendidik itu sendiri, agar mereka jadi layak menyandang predikat pahlawan tanpa tanda jasa”.

Komentarnya tersebut hanya menyudutkan dan menumpahkan semua kesalahan pada guru. Dia melakukan analisis hanya dengan satu sudut pandang tidak komprehensip. Padahal permasalahan pendidikan yang berkaitan dengan mutu sangat kompleks, melibatkan berbagai komponen guru, siswa, sekolah, keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Sehebat apapun guru jika keluarga dan mayarakat tidak mendukung secara aktif dan kurang menjalankan peran dan fungsinya secara baik maka tujuan yang ingin dicapai guru akan kandas. Kita harus membuka mata dan menyadari bahwa masalah korupsi merupakan masalah moralitas yang menjadi tanggung jawab kita bersama. Kita tidak bisa menyalahkan hanya satu komponen guru. kita harus mau intropeksi, berpikir logis, dan mau melihat realita bahwa siswa atau seseorang sebagian besar waktunya digunakan di lingkungan keluarga, dan masyarakat bukan di sekolah. Kualitas pendidikan (manusia yang berimtaq dan beriptek) dapat terwujud jika berbagai komponen (guru, siswa, keluarga, masyarakat, sekolah/pemerintah) melakukan kerjasama secara sinergi dan sestemik.

Di samping saudara Nandar Suryadarna harus mengetahui bahwa guru dan organisasi guru sekarang lagi berjuang keras untuk mengubah predikat atau gelar guru sebagai “Pahlawan tanpa tanda jasa seperti yang saudaraka katakan menjadi Pahlawan dengan penuh jasa.”. Dengan demikian, guru dihargai sesuai dengan jasa dan pengabdiannya sehingga mereka dapat hidup layak

Penulis mengakui belum semua guru kompeten, disiplin, dan masih ada yang berjualan buku tetapi mereka tidak “memungut uang masuk sekolah”. seperti yang anda tulis. Guru menyadari bahwa memungut uang masuk sekolah bukan hak, kuwajiban, tanggung jawabnya tetapi merupakan hak dari komite sekolah dengan pihak sekolah yang dimusyawarahkan dengan orang tua siswa. Apa yang disampaikan penulis (Nandar Suryadarna) menandakan bahwa yang bersangkutan belum memahami dan mengerti hak ,tugas, dan kewajiban seorang guru.

Jika dipertanyakan mengapa guru tidak berkompeten, kurang disiplin, menjual buku dan melakukan usaha usaha lain? Maka hal ini akan memunculkan sederet pertanyaan berapa besar gaji guru ( kesejahteraannya), bagaimana rekuitmen guru? Bagaimana peran pemerintah dan masyarakat dalam meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan guru?

Dalam era reformasi dan otonomi daerah pemerintahan daerah (pemkot/pemkab) di Kaltim telah berupaya memberikan perhatian terhadap kesejahtaraan dan karir guru antara lain memberikan tunjangan insentif dan memberikan beasiswa untuk melanjutkan study ke jenjang S2 (pascasarjana). Tunjangan insentif yang diberikan sangat bervariasi antara daerah satu dengan daerah lainnya walaupun berada dalam satu provinsi di Kalimantan Timur, dengan argumentasi disesuaikan dengan kemampuan pemerintah kabupaten dan kota masing-masing. Kebijakan ini mengakibatkan kesenjangan tingkat penghasilan dan kesejahteraan guru antar daerah di Kaltim. Sebagai contoh pemerintah daerah A memberikan insentif guru Rp. 750.000/bulan, pemda B Rp. 250.000,-/bulan, Pemda C Rp. 200.000,-/bulan, Pemda D Rp 650.000/bulan, dan Pemda E Rp 450.000,-/bulan.

Berdasarkan data tersebut jelas bahwa insentif yang diterima guru antar daerah di Kaltim sangat beragam bahkan terjadi ketimpangan yang menyolok seperti daerah A dan C ( 750.000 : 200.000). Padahal mereka mengabdi dan memajukan pendidikan di daerah yang sama yaitu Kaltim. Oleh karena itu, Pemprov harus berusaha mengurangi kesenjangan insentif guru tersebut dengan cara memberikan subsidi/insentif pada daerah yang gurunya insentifnya kecil sehingga akan menambah motivasi para guru.

Guru merupakan jabatan fungsional yang sebentar lagi akan menjadi jabatan profesi. Untuk meniti karir atau naik pangkat mereka harus melakukan berbagai kegiatan antara lain merencanakan dan melaksanakan program pengajaran, melakukan evaluasi, menganalis hasil ulangan, dan melakukan program perbaikan dan pengayaan. Tentunya untuk dapat melakukan tugas dan kewajibanya tersebut diperlukan kemauan, motivasi, kompetensi dan kreativitas. Hanya guru yang berkompeten dan kreatiflah yang dapat mengembangkan diri secara profesional.

Sayangnya, guru yang berkompeten dan kreatif ini karirnya terhenti hanya sebagai guru. Akibatnya mereka yang berdidikasi, berkompetensi, bertangguing jawab dan berprestasi menjadi frustasi dan masa bodoh terhadap dunia pendidikan. Hal ini merupakan salah satu kerugian bagi kita semua. Oleh karena itu, disdik perlu membuat suatu strategi dan program untuk memperdayakan guru yang berpotensi untuk mengembangkan pendidikan di kota/kabupaten masing-masing. Dengan demikian, mutu pendidikan di daerahnya akan lebih baik.

Otonomi (otoritas) Guru

Birokratisasi yang berlebihan dalam dunia pendidikan telah menyebabkan guru kehilangan otoritasnya sebagai seorang pendidik dan pengajar. Selama ini guru hanya dijadikan operator dalam pendidikan karena materi yang harus diajarkan seorang guru telah diatur rigid dalam kurikulum, buku-buku pelajaran yang akan dipergunakan ditentukan dari atas, bahkan kewenangan guru untuk melakukan evaluasi terhadap anak didiknya dirampas.

Jika guru hanya dianggap sebagai operator, tidak diberi otoritas dan tidak dipercaya saat mengajar di depan kelas, itu merupakan penghinaan terhadap profesi guru. Seorang guru yang pandai akan percuma saja bila ia tidak diberi otoritas dalam mengajar. Jika memang kompetensi guru dalam mengajar kurang, yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah memberdayakan mereka bukan malah memotong otoritas yang dimiliki seorang guru. Dengan memiliki otoritas di kelas memungkinkan guru mengajar secara fleksibel tidak terpaku pada detail kurikulum atau apa yang dikatakan dalam buku. Fleksibilitas ini cocok bagi masyarakat Indonesia yang plural dan wilayah negara yang sangat luas.

Penulis mengakui, Kurikulum Berbasis Kompetensi yang mulai diberlakukan telah mencoba mengembalikan otonomi guru dalam menentukan metodologi maupun isi pengajaran. Akan tetapi menurut pengamatan dalam pelaksanaannya ada kecenderungan kembali lagi pada pola lama. Hanya istilahnya saja yang berubah model pengajarannya masih sama.Contohnnya kompetensi dasar dalam istilah Kurikulum Berbasis Kompetensi disejajarkan dengan tujuan instruksi umum. Indikator disamakan dengan tujuan instruksi khusus.

Di era reformasi dan otonomi ini guru harus bangkit jangan mau hanya dijadikan boneka (robot) yang hanya menjalankan perintah yang belum tentu benar. Guru harus berani membuat atau melakukan terobosan terobasan untuk karir, profesionalisme, dan kesejahterannya. Oleh karena itu, tanamkan jiwa otonomi (kemandirian), dan keberanian dalam dada untuk memperjuangkan nasip, masa depan diri sendiri, dan kemajuan pendidikan..

Mencermati PP No 19 2005 dan RUU Guru

Guru merupakan tenaga profesional dibidang pembelajaran. Artinya bahwa pekerjaan guru harus memiliki kualifikasi akademik dan penguasaan kompetensi yang sesuai dengan jenis dan jenjang pendidikan. Kualifikasi akademik yang disyaratkan untuk menjadi guru Usia dini/ TK/SD/SLTP/SLTA sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomer 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) minimal berijazah Sarjana (S1) atau Diploma empat (D-IV). Ironisnya di ibu kota provinsi ini masih ada sekolah menengah yang menerima guru dengan ijazah SLTA, apalagi bidang yang diajarkan tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan dan keahliannya. Kebijakan ini jelas merupakan tindakan gila dan meremehkan profesi guru.

Tujuan pemerintah mengharuskan pendidik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah harus S1 adalah untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Namun demikian, menguliahkan kembali para guru belum tentu akan membantu peningkatan keprofesionalisme . Hal ini karena tujuan mereka kuliah hanya mengejar gelar atau untuk memenuhi persyaratan saja. Sementara penambahan pengetahuan dan keterampilan mengajar dan mendidik menjadi terabaikan. Jika yang terjadi demikian, maka selain kualifikasi akademik S1 perlu dibuat perencana pelatihan secara berkesinambungan untuk meningkatkan kompetensi guru.

Di Kaltim masih banyak guru yang belum memiliki kualifikasi akademik S1 terutama untuk tingkat usia dini, TK, dan SD/MI. Oleh karena itu, perlu mendapat perhatian serius dari pemprov/pemkot/pemkab jika pendidikan di daerahnya tidak ingin tertinggal dari daerah lain. Hal yang harus dilakukan pemprov/pempkot/pemkab mengalokasikan dana dalam APBD untuk beasiswa bagi guru yang belum sarjana ( S1) .

Jika kita mencermati RUU guru per Mei 2005, seorang guru juga dituntut untuk memiliki dan meningkatan kompetensinya. Kompetensi yang harus dimiliki guru adalah kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi sosial, dan kompetensi kepribadian ( RUU guru per 25 mei 2005). Untuk mencapai dan memiliki keempat kompetensi ini seorang guru perlu bekerja keras dengan cara banyak belajar mencari informasi dari berbagai sumber sehingga dapat mengembangkan diri dan menjalankan tugasnya secara baik. Namun, untuk mencapai keempat kompetensi tersebut tidak semudah mengucapkan memerlukan keikhlasan, kemaun, pengorbanan serta pelatihan yang dilakukan secara terencana, terprogram dengan baik.

Di samping itu, draf RUU Guru belum memberikan perlindungan dan harapan bagi guru honorer. Dalam RUU Guru ini hanya memberikan harapan pada guru PNS dan guru tetap non PNS untuk mendapat perlindungan. Dalam pasal 15 ayat 1 RUU Guru dikatakan bahwa guru tetap non-PNS memperoleh penghasilan sekurang-kurangnya sama dengan penghasilan guru tetap PNS. Sedangkan, guru honorer berdasarkan kesepakatan antar guru dengan pihak sekolah (yayasan). Hal tersebut membuktikan bahwa guru honorer belum terlindungi dan masih harus berjuang untuk mendapatkan kesejahteran.

Yang menjadi persoalan dengan berubahnya jabatan guru menjadi jabatan profesi dan banyaknya tuntutan terhadap kompetensi guru adalah berapa besar guru akan diberikan gaji?. Sebab RUU guru yang sudah disetujui presiden dan dibahas di DPR masih ada 2 persoalan yang krusial yaitu masalah pidana dan penetapan standar gaji guru (kaltimpost10/11/205). Oleh karena itu, guru dan organisasi profesi guru harus terus dan tetap berjuang agar strandar gaji yang ditetapkan dapat meningkatkan kesejahteraan guru. Dengan UU Guru diharapkan guru mendapat perlindungan hukum terkait dengan perlindungan profesi, perlindungan kesejahteraan, jaminan sosial, dan perlindungan hak dan kewajiban. Selamat berjuang, tingkatan profesionalisme dan otomoni dalam diri Anda untuk menjadi manusia yang berguna bagi bangsa dan negara. Amin



Mencermati Hearing Pengurus PGRI Kaltim dan DPRD

Oleh : Mulyadi, M.Pd.

Wakil sekretaris PGRI Kota Samarinda, Pemerhati Pendidikan Dan Moral Anak (PPMA)

Dimuat Kaltim postbagian Opini tanggal 8 November 2005

Pada hari Rabu tanggal 26 Oktober 2005 pengurus PGRI Kaltim mengadakan hearing dengan komisi V DPRD Provinsi. Ada hal yang menarik untuk kita cermati dari hearing tersebut antara lain para wakil rakyat (DPRD) sebagian besar sudah memahami, mengerti akan keadaan pendidikan di Kaltim (guru, sarana prasarana, dan permasalahan yang dihadapi). Namun demikian, mereka tidak dapat berbuat banyak terutama untuk memperjuangkan anggaran pendidikan sebagaimana amanat pasal 31 UUD 1945. Hal ini karena masih kuatnya tarik menarik kepentingan baik di legeslatif maupun eksekutif. Oleh kerena itu, legeslatif (komisi V) mengajak para pengurus PGRI berjuang bersama untuk menembus batu karang yang selama ini sebagai penghalang.

Anggaran pendidikan dalam APBD provinsi Kaltim masih minim belum sesuai dengan amanat pasal 31 UUD 1945. Dalam Pasal 31 ayat 4 dikatakan “Pemerintah memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 % dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.” Ternyata berdasarkan hasil hearing dengan DPRD 26 Oktober 2005 ini bahwa dalam RAPBD 2006 pendidikan hanya mendapat porsi 12 % dari total RAPBD provinsi, itupun pendidikan dasar dan menengah hanya mendapat 4 %, sedangkan sisanya 8 % untuk perguruan tinggi.

Tentunya pengalokasian dana sebagaimana tersebut di atas sangat tidak adil dan diskriminatif. Kita sebagai orang awam melihat sepintas sudah mengetahui bahwa dana operasional yang diperlukan untuk pendidikan dasar dan menengah jelas lebih besar dari pendidikan tinggi, karena memang jumlahnya di Kaltim ini lebih banyak. Namun kenyataanya, yang terjadi dalam RAPBD sebaliknya. Menurut penulis jika RAPBD ini disyahkan menjadi APBD Kaltim 2006 pendidikan kaltim semakin terpuruk tidak dapat bersaing dengan daerah lain. Bagaimana kualitas pendidikan Kaltim dapat baik jika anggarannya saja minim, gedung sekolah sebagai tempat belajar banyak yang rusak, kesejahteraan dan kualitas guru terabaikan. Oleh karena itu, seluruh komponen masyarakat kaltim (birokrat, politisi, LSM pendidikan, dan pemkot/pemkab) harus bahu membahu berjuang untuk menentang ketidakadilan ini. Jika diperlukan para guru tentunya siap demonstrasi turun ke jalan seperti tahun 2000 yang lalu. Itupun langkah terakhir jika memang aspirasi para Umar Bakri masalah anggaran pendidikan terabaikan.

Seharusnya kita mau mencontoh negeri Sakura (Jepang). Walaupun negarannya porak poranda kalah perang dengan sekutu. Mereka tetap semangat untuk membangun negarannya. Jepang saat menyerah kepada tentara sekutu, yang didata pertama kali adalah jumlah guru yang masih hidup bukan Jendral. Jepang sangat menyadari bahwa gurulah yang dapat mengangkat harkat dan martabat bangsanya sejajar dengan negara maju lainnya. Hal ini sudah terbukti, Jepang sekarang menjadi negara industri yang disegani dunia.Bahkan berdasarkan penelitian prestasi akademik siswa maupun mahasiswa di Jepang lebih baik dibandingkan Amerika Serikat.

Di samping itu, mari kita renungkan ucapan dari Dirjent Menejemen pendididikan dasar dan menengah Prof. Suyanto, PhD. “Dalam era otonomi daerah pemerintah daerah lebih senang membangun berhala-berhala (gedung-gedung megah) dibandingkan berimvestasi pada pendidikan” Pernyataan tersebut jika kita hubungkan dengan RAPBD provinsi Kaltim benar adanya, dana untuk membangun sarana olah raga dalam menghadapi PON 2008 saja dianggarkan kurang lebih 260 milyard. Sedangkan, untuk pendidikan sangat minim.

Realita ini sangat meyakitkan dan menyedihkan bagi para pendidik dan stake holder pendidikan di Kaltim maka tidak mengherankan jika banyak komentar yang ironis terhadap para birokrat provinsi.. Kemudian muncul beberapa petanyaan dari para pendidik dan masyarakat mengapa daerah yang kaya seperti Kaltim belum mampu memberikan porsi 20% untuk pendidikan dalam APBD? Mengapa pemprop/DPRD kurang tanggap terhadap masalah pendidikan? Pertanyaan pertanyaan tersebut harus dijadikan cambuk para penguasa baik birokrat maupun politisi untuk intropeksi dan terus berjuang agar anggaran pendidikan mencapai 20 % sehingga amanat UUD dapat dilaksanakan secara konsisten.

Pokok pokok pikiran yang disampaikan oleh pengurus PGRI kaltim saat hearing dengan komisi V DPRD Kaltim pada dasarnya ada 5 hal yaitu peningkatan profesionalisme guru, pengembangan karir guru, peningkatan kesejahteraan guru, penghargaan terhadap profesi guru, dan operasional organisasi.

1. Peningkatan profesionalisme guru

Guru merupakan tenaga profesional di bidang pembelajaran. Artinya bahwa pekerjaan guru harus memiliki kualifikasi akademik dan penguasaan kompetensi yang sesuai dengan jenis dan jenjang pendidikan. Kualifikasi akademik yang disyaratkan untuk menjadi guru TK/SD/SLTP/SLTA sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomer 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) minimal berijazah Sarjana (S1) atau Diploma empat (D-IV). Realitasnya sekarang, di Kaltim masih banyak guru yang belum memiliki kualifikasi akademik S1 terutama untuk tingkat usia dini, TK, dan SD/MI masih banyak yang berijazah SPG dan Diploma II (D-II)

Oleh karena itu, hal ini perlu mendapat perhatian serius dari pemprov/pemkot/pemkab jika pendidikan di daerahnya tidak ingin tertinggal dari daerah lain dengan mengalokasikan dana dalam APBD untuk beasiswa bagi guru yang belum sarjana ( S1). Selain itu, untuk meningkatkan profesionalisme guru ini perlu dibuat program terencencana dan berkesinambungan seperti melakukan pelatihan, pertemuan ilmiah, lokakarya maupun penelitian tindakan kelas.

2. Pengembangan Karir Guru.

Guru merupakan jabatan fungsional, untuk meniti karir atau naik pangkat mereka harus melakukan berbagai kegiatan antara lain merencanakan dan melaksanakan program pengajaran, melakukan evaluasi, menganalis hasil ulangan, dan melakukan program perbaikan dan pengayaan. Selain itu, seorang guru juga dituntut untuk selalu mengikuti perkembangan iptek terutama yang berkaitan dengan profesinya.

Tentunya untuk dapat melakukan tugas dan kewajibanya tersebut diperlukan kemauan, motivasi, kompetensi dan kreativitas. Hanya guru yang berkompeten dan kreatiflah yang dapat mengembangkan diri secara profesional. Sayangnya, guru yang berkompeten dan kreatif ini karirnya terhenti hanya sebagai guru terkutat di lingkungan sekolah. Guru yang berprestasi harus ada kejelasan karir untuk masa depanya. Hal yang harus dilakukan oleh pemprop/pemkot/pemkab adalah memberi kesempatan kepada guru untuk menduduki jabatan struktural pada dinas/instansi yang berkaitan dengan kependidikan /kemasyarakatan.

3. Peningkatan Kesejahteraan guru dan keluarganya

Realitas sekarang menunjukkan bahwa tingkat penghasilan dan kesejahteraan guru antar daerah di Kaltim terjadi kesenjangan. Hal ini diperparah lagi dengan adanya perbedaan insentif/tunjangan yang diterima oleh guru dari sekolah. Sebagai contoh pemerintah daerah A memberikan insentif guru Rp. 750.000/bulan, pemda B Rp. 250.000,-/bulan, Pemda C Rp. 200.000,-/bulan, Pemda D Rp 650.000/bulan, dan Pemda E Rp 450.000,-/bulan.

Berdasarkan data tersebut insentif yang diterima guru antar daerah di Kaltim sangat beragam bahkan terjadi ketimpangan yang menyolok seperti daerah A dan C ( 750.000 : 200.000). . Padahal mereka mengabdi dan memajukan pendidikan di daerah yang sama yaitu Kaltim. Oleh karena itu, Pemprop harus berusaha mengurangi kesenjangan insentif guru tersebut dengan cara memberikan subsidi/insentif pada daerah yang gurunya insentifnya kecil sehingga akan menambah motivasi para guru.

Selain itu, yang harus segera dilakukan pemprop adalah memetapkan honorarium guru (guru honor/kontrak/bantu) yang layak sesuai dengan UMP (upah minimum provinsi) yang berlaku di kaltim, memberikan biasiswa bagi anak guru, dan membangun wisma guru di samarinda yang representatif untuk memperingan atau mempermudah guru kaltim yang melakukan transit.

4. Penghargaan terhadap profesi guru

Dewasa ini penghargaan terhadap guru, secara struktural oleh pemerintah maupun masyarakat, masih rendah. Terjadi ambiguitas dari masyarakat dan pemerintah. Di satu sisi mengakui peran penting pendidikan dalam pengembangan sumber daya manusia, di sisi lain penghargaan terhadap profesi guru tidak sepadan dengan tugas dan tanggung jawabnya. Untuk menyadarkan kita mari kita lihat dan bandingkan penghargaan yang diterima oleh siswa yang berprestasi dalam olimpiade sains, guru prestasi, dan atlit gulat yang berprestasi. Realitanya atlit gulat menerima bonus puluhan juta rupiah, sedangkan siswa dan guru prestasi hanya menerima piagam penghargaan. Padahal mereka sama-sama mengangkat nama Kaltim? Adilkah ini? Kita hendaknya berbuat adil kepada siapa saja yang mengangkat nama Kaltim jangan berbuat diskriminatif.

Oleh karena itu, Pemprov harus memberikan penghargaan yang layak kepada para guru yang membina siswa sehingga yang bersangkutan berprestasi pada tingkat lokal, nasional, maupun internasional, memberikan penghargaan guru prestasi yang mewakili provinsi ke tingkat nasional, dan memberikan penghargaan kepada guru guru yang menjalankan tugas di daerah terpencil lebih dari 20 tahun. Dengan demikian ,guru merasa dihargai sebagai pencipta sumberdaya manusia di Kaltim

5. Dana operasional Organisasi

Organisasi masa dan LSM di Kaltim cukup banyak. Salah satu organisasi masa yang bergerak di bidang pendidikan adalah PGRI. Selama ini Pemprov tidak adil dalam memberikan dana operasional kepada organisasi masa. Ada organissai masa yang mendapat bantuan operasional sampai ratusan juta rupiah tetapi disisi lain PGRI dan organisasi sejenisnya mendapat bantuan cukup kecil walaupun kontribusinya terhadap kemajuan kaltim cukup besar.

Penutup.

Pendidikan di kaltim kualitasnya akan semakin baik jika pemprov dan DPRD komit untuk memberikan porsi anggaran pendidikan sebesar 20 % dari APBD 2006. Mengingat hal tersebut amanat pasal 31 UUD 1945. Anggaran ini sangat penting untuk menunjang operasional pendidikan, perbaikan gedung-gedung sekolah yang rusak, beasiswa berprestasi dan anak tidak mampu, peningkatan profesionalisme guru, dan kesejahteraan guru. Semoga Gubernur beserta stafnya dan DPRD provinsi terketuk dan terbuka hatinya sehingga perhatian terhadap pendidikan , demi masa depan Kaltim yang cerah dan maju. Amin.

Inovasi Pendidikan Di Kaltim Suatu Keharusan

Oleh : Mulyadi, M.Pd.

Sekretaris PGRI Samarinda, Pemerhati Pendidikan Dan Moral Anak (PPMA)

Dimuat Harian Kaltimpost tanggal 14 dan 15 November 2005



Berbicara mengenai inovasi (pembaharuan) mengingatkan kita pada istilah invention dan discovery. Invention (Inovasi) adalah penemuan sesuatu yang benar-benar baru artinya hasil karya manusia. Discovery adalah penemuan sesuatu (benda yang sebenarnya telah ada sebelumnya). Dengan demikian, inovasi dapat diartikan usaha menemukan benda yang baru dengan jalan melakukan kegiatan (usaha) invention dan discovery. Jadi padasarnya inovasi tidak harus menemukan hal yang baru, tetapi dapat juga hal yang sebelumnya sudah ada atau hal yang ada kemudian dimodifikasi. Kemudian, muncul beberapa pertanyaan mengapa diperlukan inovasi pendidikan? siapa yang melaksanakan inovasi? Manfaat apa yang didapatkan dari inovasi pendidikan? seberapa besar dana yang diperlukan untuk melakukan inovasi pendidikan?

Inovasi pendidikan dilaksanakan karena suatu kebutuhan supaya kualitas pendidikan semakin baik. Selama ini inovasi pendidikan dilaksanakan sepotong-potong hanya pada lingkup sekolah sehingga hasilnya tidak maksimal seperti yang diharapkan. Bahkan inovasi pendidikan di beberapa daerah hanya menjadi suatu wacana atau hanya dibicarakan pada lingkup seminar, work shop, maupun diskusi belum diimplementasikan untuk memecahkan permasalahan pendidikan.

Memang harus kita akui, sudah ada yang melaksanakan inovasi pendidikan tetapi hanya pada lingkup pembelajaran (CAR) yang dilakukan oleh guru di kelas, itupun dilakukan kerena ada proyek seperti school grant dll. Semestinya inovasi dilakukan pada semua tingkatan/lingkup baik disdik, pengawas, maupun sekolah sehingga akan menghasilkan sesuatu yang lebih baik. Di samping itu, pelaksanaan inovasi juga harus melibatkan seluruh komponen baik pemkot/pemkab, disdik, sekolah (warga sekolah), pengawas, dan masyarakat yang di dalamnya termasuk LSM pendidikan maupun orang tua siswa.

Melihat realita pendidikan di kaltim saat ini inovasi pendidikan mendesak untuk segera dilakukan. Menurut penulis hal yang harus di lakukan oleh stake holder agar kualitas pendidikan di kaltim lebih baik adalah sebagai berikut: 1. Membuka klinik pendidikan 2. Peningkatan anggaran pendidikan dalam APBD, 3. Pemasangan Website di setiap disdik kota/kabupaten maupun sekolah 4. Melakukan evaluasi kinerja birokrat pendidikan (kepala disdik, kabag, kasubag, kasubdin, kasi) pengawas, kepala sekolah, guru, secara jujur dan bertanggung jawab. 5. Meningkatkan kualifikasi guru minimal S1 atau Diploma IV, 6. Meningkatkan profesionalisme guru melalui pelatihan dan kegiatan MGMP, 7. Menerapkan menejemen berbasis sekolah dan menejemen mutu terpadu di sekolah, 8. Pengadaan tenaga administrasi di Sekolah Dasar (SD) 9. Meningkatkan peran LSM pendidikan, dewan pendidikan, komite sekolah, dan masyarakat, 10. Melakukan pemetaan guru di setiap kota/kabupaten sesuai dengan latar belakang pendidikan, 11. Memperhatikan jenjang karir guru, 12. Membuka sekolah terpadu, sekolah satu atap, dan sekolah keliling (singgah).

1. Membuka klinik pendidikan.

Mendengar kalimat klinik pendidikan mungkin aneh, tetapi suatu saat jika terwujud akan menjadi hal yang biasa. Kata klinik memang sering digunakan dalam dunia kesehatan. Jika kita mendengar kata tersebut dalam benak kita membayangkan orang sakit yang lagi antri menunggu panggilan untuk diperiksa oleh dokter. Dengan munculnya gagasan klinik pendidikan tersebut kemudian muncul suatu pertanyaan apakah sekarang ini banyak orang/lembaga yang menghadapi masalah berkaitan dengan pendidikan? Mengapa klinik pendidikan diperlukan? Mungkinkan klinik pendidikan terwujud? Siapa yang akan mengelola dan menggunakan jasa klinik pendidikan? dan siapa yang membiayai operasional klinik pendidikan?

Menurut penulis kehadiran klinik pendidikan sekarang sangat diperlukan. Kita harus melihat realita masyarakat dan lembaga pendidikan di Kaltim bahwa banyak anak-anak yang kesulitan dalam belajarnya, banyak orang tua yang kebingungan untuk memilih atau menentukan sekolah yang sesuai dengan kemampuan dan bakat anaknya, banyak sekolah yang kesulitan mengembangkan sekolahnya menjadi sekolah yang baik, disdik masih kesulitan membuat inovasi dan program pendidikan, pemerintah maupun DPRD masih memerlukan saran-saran untuk memajukan pendidikan dan masih banyak lagi persoalan-persoalan dalam dunia pendidikan yang tidak tertangani secara baik.

Klinik pendidikan kehadirannya dibutuhkan sebagai tempat konsultasi bagi anak, orang tua, sekolah, DPRD, Disdik, pemerintah yang berkaitan dengan pendidikan. Oleh karena itu, orang orang yang duduk dalam klinik pendidikan adalah orang-orang yang berkompeten dalam bidangnya antara lain Psikolog, ahli menejemen pendidikan, dan ahli bidang studi (spiasialis). Diharapkan mereka dapat membantu masyarakat, DPRD, pemerintah daerah, maupun sekolah yang menghadapi masalah pendidikan.

Sebaiknya untuk tahap awal atau permulaan klinik pendidikan dapat dibuka pada setiap disdik kota/kabupaten. Selanjutnya untuk tahun tahun berikutnya jika dirasakan bermanfaat dalam memajukan pendidikan dapat dibuka di setiap kecamatan. Dengan demikian, diharapkan masyarakat dapat terlayani dengan baik berkaitan dengan masalah pendidikan.

Mendirikan suatu satuan/lembaga/unit tentu memerlukan dana untuk sarana dan operasionalnya. Agar dana operasional dari klinik pendidikan ini tidak membengkak (besar) pengelola dan penangung jawab klinik pendidikan adalah disdik kota/kabupaten yang pengurus/orangnya diambil dari PNS (guru, kepsek, pengawas, dan staf yang bekompetensi sesuai dengan bidangnya). Kemudian, bagaimana agar kinerja klinik pendidikan berjalan secara efektif dan dan efesien? Untuk meningkatkan kinerja dan memotivasi orang orang yang dikerjakan dalam klinik pendidikan maka mereka perlu mendapat tambahan tunjangan dari pemerintah daerah sesuai dengan kedudukannya dalam klinik tersebut. Sedangkan, dana operasional berasal dari APBD kota/kabupaten..

2. Peningkatan anggaran pendidikan dalam APBD.

Anggaran pendidikan dalam APBD provinsi maupun kota/ kabupaten masih minim belum sesuai dengan amanat pasal 31 UUD 1945. Dalam Pasal 31 ayat 4 dikatakan “Pemerintah memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 % dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.” Ternyata sampai sekarang pemerintah pusat maupun pemkot/pemkab belum dapat merealisasikan amanat UUD itu. Sangat ironis, jika daerah yang kaya seperti kaltim belum mampu memberikan porsi 20% untuk pendidikan dalam APBD. Kemudian muncul petanyaan dari para pendidik dan masyarakat kemana arah dana perimbangan keuangan? Mengapa pempro/pemkot/pemkab/DPRD tidak tanggap terhadap masalah pendidikan? Pertanyaan pertanyaan tersebut harus dijadikan cambuk para penguasa baik birokrat maupun politisi untuk terus berjuang agar anggaran pendidikan mencapai 20 % sehingga amanat UUD dapat dilaksanakan secara konsisten.

3. Pemasangan Website di diknas prop/ disdik kota/kabupaten maupun sekolah

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) pada abad ke-21 semakin pesat. Salah satu contohnya pemanfaatan teknologi informasi (TI) dalam berbagai sektor kehidupan manusia. Meskipun penggunaan teknologi informasi sekarang masih dikatagorikan sebagai salah satu sumber daya yang tergolong ekslusif dan mahal tetapi manfaat yang diperoleh dari penggunaan tehnologi informasi lebih besar dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan. Oleh karena itu, sangat tepat jika pendidikan menggunakan tehnolagi informasi (TI) internet untuk meningkatkan kualitas dan memajukan pendidikan.

Teknologi informasi dapat dijadikan sebagai salah satu sektor pendorong bagi kemajuan pendidikan di Kaltim. Sayang sampai sekarang, disdik kota/kabupaten maupun sekolah masih belum memanfaatkan TI ini sehingga mereka lambat menerima informasi yang diperlukan. Hal yang harus segera dilakukan oleh Pemprop/Pemkot/pemkab adalah membuat Website di disdik provinsi/kota/kabupaten dan sekolah sebagai jaringan untuk mendapatkan informasi secara cepat. Dengan jaringan internet ini disdik maupun sekolah dapat mengakses berbagai informasi yang diperlukan dan melakukan komunikasi secara cepat dengan masyarakat.

4. Melakukan evaluasi kinerja birokrat pendidikan (kepala disdik, kabag, kasubag, kasubdin, kasi) pengawas, kepala sekolah, guru, secara jujur dan bertanggung jawab.

Evaluasi kinerja dilakukan untuk mengetahui seberapa baik kinerja seseorang atau lembaga yang di evaluasi. Selama ini, evaluasi kinerja dalam bidang pendidikan lebih sering dilakukan kepada kepala sekolah dan guru, masih jarang evaluasi kinerja dikenakan kepada para birokrat pendidikan dan pengawas. Ketimpangan evaluasi kinerja ini, jika terus berjalan tentunya akan berdampak yang kurang baik terhadap dunia pendidikan itu sendiri. Hal semacam ini (evaluasi kinerja yang tidak menyeluruh) akan mendatangkan pertanyaan-pertanyaan orang yang dievaluasi maupun pihak lain. Bagaimana seorang evaluator dapat mengevaluasi dengan baik jika kinerjanya sendiri tidak pernah dievaluasi atau di bawah dari orang yang dievaluasi? Tentunya ini menjadi permasalahan baru. Oleh karena itu, evaluasi kinerja harus dilakukan kepada seluruh pelaku pendidikan (birokrat pendidikan dan fungsional) dengan kreteria yang telah ditentukan sehingga kita akan mengetahui letak kekurangan. Dengan demikian, kita dapat memperbaiki dengan cermat dan tepat

5. Meningkatkan kualifikasi guru minimal S1 atau Diploma IV

Guru merupakan tenaga profesional di bidang pembelajaran. Artinya bahwa pekerjaan guru harus memiliki kualifikasi akademik dan penguasaan kompetensi yang sesuai dengan jenis dan jenjang pendidikan. Kualifikasi akademik yang disyaratkan untuk menjadi guru Usia dini/ TK/SD/SLTP/SLTA sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomer 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) pada bab VI pasal 29 tentang standar pendidikan dan tenaga pendidikan, kualifikasi akademik pendidikan guru minimum berijazah Sarjana (S1) atau Diploma empat (D-IV).

Realitasnya sekarang, di Kaltim masih banyak guru yang belum memiliki kualifikasi akademik S1 terutama untuk tingkat usia dini, TK, dan SD/MI. Mereka kebanyakan memiliki ijazah SPG dan Diploma II. Oleh karena itu, hal ini perlu mendapat perhatian serius dari pemkot/pemkab jika pendidikan di daerahnya tidak ingin tertinggal dari daerah lain. Hal yang harus dilakukan adalah mengalokasikan dana dalam APBD untuk beasiswa bagi guru yang belum sarjana ( S1)

6. Meningkatkan profesionalisme guru melalui kegiatan MGMP dan callaborative action research (CAR).

Guru adalah jabatan profesional dengan visi, misi, dan aksinya mereka menjadi pemeran utama dalam mengembang sumber daya manusia. Berdasarkan hasil berbagai penelitian menunjukkan bahwa mutu guru secara konsisten menjadi salah satu faktor terpenting dari mutu pendidikan. Dalam penelitian itu, guru yang bermutu mampu membelajarkan murid secara efektif sesuai dengan kendala sumber daya dan lingkungan.

Mengingat guru memimiliki peran strategis dalam meningkatkan kualitas pendidikan, dan melihat kualitas guru yang ada saat ini maka peningkatan profesionalisme guru sangat diperlukan. Untuk meningkatkan profesionalisme guru hendaknya dilakukan dengan terencana, terprogram, dan berkesinambungan melalui berbagai kegiatan seperti pelatihan, seminar, work shop, Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), callaborative action research (CAR), dll.

Selama ini MGMP di beberapa daerah tidak berjalan sebagai mana mestinya, hal ini disebabkan tidak adanya dana untuk melaksanakan. Pada masa lalu pertemuan di sanggar MGMP dibiayai oleh pemerintah, bahkan para peserta mendapatkan uang transpor, tetapi sekarang kegiatan MGMP merupakan kegiatan swadana peserta sehingga para peserta malas datang ke sanggar untuk mengikuti kegiatan MGMP. Akibatnya para guru ketinggalan informasi berkaitan dengan kurikulum, strategi pembelajaran, dan informasi lain yang berkaitan dengan profesinya sehingga mereka tidak dapat melaksanakan tugas sebagaimana tuntutan kurikulum.

Di samping itu guru agar professional dalam bidangnya juga perlu melakukan callaborative action research (CAR). Model CAR sebagai alternatif penataran guru memiliki ligitimasi yang kuat, baik dilihat aspek akademik maupun setting kultur sekolah. Model CAR dapat digunakan untuk meningkatkan profesionalisme guru dengan bermakna. Dalam model ini guru diajak melihat berbagai problem pembelajaran yang dijumpai di kelasnya, sehingga guru dapat memecahkan masalahnya itu bersama kalaboratornya.

7. Menerapkan menejemen berbasis sekolah (MBS) dan menejemen mutu terpadu (MMT) di sekolah,

Untuk mencapai visi dan misi sekolah yang telah ditetapkan, sekolah harus menerapkan kedua menejemen tersebut secara konsisten. perpaduan dua model ini diharapkan dapat memajukan sekolah dan meningkatkan mutu pendidikan. dalam mbs sekolah memiliki kewenangan untuk merencanakan, melaksanakan, memonitoring, dan mengevaluasi program dengan melibatkan warga sekolah demi meningkatkan kualitas dan kemajuan sekolah. Langkah- langkah yang harus dilakukan kepala sekolah agar MBS berjalan dengan baik antara lain: menumbuhkan komitmen bersama untuk mandiri dalam lingkungan sekolah, menumbuhkan harapan prestasi yang lebih tinggi, kemauan untuk berubah, sikap responsif dan antisipatif terhadap kebutuhan, mengembangkan komunikasi yang baik antar warga sekolah,mewujudkan teamwork yang kompak, melakukan transparansi menejemen, melaksanakan pengelolaan tenaga pendidikan secara efektif, meningkatkan pertisipasi warga sekolah dan masyarakat, menetapkan akuntabilitas yang kuat

Sedangkan, dalam menejemen mutu terpadu (MMT) mengutamakan kepuasan pelanggan (customer satisfaction) artinya sekolah sebagai pelayan jasa harus memberikan kepuasan pada pelanggannya yaitu siswa, orang tua, masyarakat, pemerintahan, maupun pihak-pihak lain yang pada akhirnya ikut menikmati hasil pendidikan sekolah. Hal–hal yang dilakukan antara lain siswa diperlakukan sebagai pelanggan, keluhan siswa ditangani secara cepat dan efisien, terdapat sistem saran aktif dari siswa, sekolah berusaha membuat pelanggan puas sesuai kebutuhan, terdapat rencana tindak-lanjut menelusuri lulusan, siswa diperlakukan dengan sopan, rasa hormat, akrab, penuh pertimbangan, sistem informasi memberikan laporan yang berguna untuk membantu manajemen, karyawan,guru dan siswa. Jadi sekolah yaitu kepala sekolah, guru, dan staf administrasi bertanggung jawab dan siap memberikan pelayanan dengan cara yang mudah dan cepat guna memenuhi kebutuhan siswa, dan masyarakat.

8. Pengadaan tenaga administrasi di Sekolah Dasar(SD)

Tenaga administrasi (TU) dalam lembaga pendidikan sangat penting. Tenaga administrasi ini sangat mendukung dan mempelancar suatu sekolah mencapai tujuannya. Walaupun keberadaan tenaga administrasi di sekolah sangat penting, tetapi realitas menunjukkan bahwa Sekolah Dasar (SD) di Kaltim hanya sebagian kecil yang memiliki tenaga administrasi/tata usaha. Kalaupun ada tenaga tata usaha merupakan tenaga honorer yang dibayar oleh masing-masing sekolah, bukan PTT atau PNS yang diangkat oleh Pemkot/pemkab, sehingga sekolah harus mencari sumber dana untuk menggaji tenaga administrasi tersebut.

Tidak adanya tata usaha di SD ini sangat dikeluhkan oleh sebagian besar kepala sekolah. Jika kepala sekolah melakukan pengadaan tata usaha di sekolahnya maka mereka harus mengeluarkan dana untuk membayar tenaga honorer, tetapi jika tidak melakukan pengadaan tenaga administrasi mereka (kepala sekolah) harus merangkap pekerjaan menjadi TU. Oleh karena itu, pemkot/pemkab perlu segera melakukan pengadaan tenaga administrasi di SD minimal 1 orang setiap sekolah. Cara lain yang dapat ditempuh pemkot antara lain mengangkat tenaga honorer atau memutasi sebagian tenaga administrasi (TU) yang berada di SMP/SMA/SMK yang kelebihan.

9. Meningkatkan peran LSM pendidikan, dewan pendidikan, komite sekolah, dan masyarakat.

LSM pendidikan (PGRI, FSGK, PGS, Komite reformasi dll) , dewan pendidikan, komite sekolah, dan masyarakat memiliki peran yang strategis dalam memajukan dunia pendidikan. Sebagai wadah menyalurkan aspirasi lembaga ini sangat efektif sebagai pengontrol, pemberi pertimbangan, pendukung, dan mediator. Usaha dan tindakan yang dilakukan tentunya disesuaikan dengan karakteristik dari masing masing LSM. Yang masih menjadi persoalan adalah apakah lembaga tersebut telah melakukan peran dan fungsinya dengan baik? Atau hanya mengekor terhadap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah (Pemprop/pemkot/pemkab, disdik, sekolah)? Kedua pertanyaan ini selalu mengemuka untuk mendapatkan jawaban. Harus diakui LSM/Lembaga ini memang sudah berperan, namun peran yang dilakukan belum optimal. Oleh karena itu, pengurus dari LSM/lembaga tersebut harus lebih pro aktif dalam mengontrol dan memberikan pertimbangan berkaitan dengan kebijakan pendidikan sehingga kebijakan akan memihak pada rakyat. Dengan demikian, pendidikan diharapkan akan lebih baik dan berkualitas.

10. Melakukan pemetaan guru di setiap kota/kabupaten sesuai dengan latar belakang pendidikan.

Jumlah guru di Kalimantan timur jumlahnya cukup banyak. Jika kita melihat langsung keberdaan guru di sekolah - sekolah akan menemukan penyebaran guru yang tidak merata. Disatu sisi terdapat sekolah yang kelebihan guru disisi lain ada sekolah yang kekurangan guru. Penyebaran guru yang tidak merata ini jika tidak diatasi dengan segera akan berdampak negatif terhadap kualitas pendidikan. Disdik kota/ kabupaten yang berwenang dalam hal ini harus menata ulang atau memetakan keberadaan guru di sekolah dengan meminta data yang sebenarnya (sesuai dengan latar belakang pendidikan dan kebutuhan sekolah) kepada sekolah-sekolah.

Selama ini sekolah melaporkan keadaan guru tidak sebagaimana mestinya. Contohnya sekolah kurang memperhatikan jumlah jam megajar guru, sekolah melaporkan jumlah guru ( kekurangan dan kelebihan) kurang memperhatikan dengan latar belakang pendidikannya. Mereka menggunakan prinsip yang penting ada yang mengajar walaupun guru tersebut mengajar tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Akibatnya dari tindakan ini akan merugikan siswa dan menurunnya kualitas pendidikan. Padahal guru dapat dikatakan profesional dan berkompetensi apabila mereka mengajar dan menguasai materi sesuai latar belakang pendidikannya.

11. Memperhatikan jenjang karir guru

Guru merupakan jabatan fungsional, untuk meniti karir atau naik pangkat mereka harus melakukan berbagai kegiatan antara lain merencanakan dan melaksanakan program pengajaran, melakukan evaluasi, menganalis hasil ulangan, dan melakukan program perbaikan dan pengayaan. Selain itu, seorang guru juga dituntut untuk selalu mengikuti perkembangan iptek terutama yang berkaitan dengan profesinya.

Tentunya untuk dapat melakukan tugas dan kewajibanya tersebut diperlukan kemauan, motivasi, kompetensi dan kreativitas. Hanya guru yang berkompeten dan kreatiflah yang dapat mengembangkan diri secara profesional. Sayangnya, guru yang berkompeten dan kreatif ini karirnya terhenti hanya sebagai guru. Artinya yang bersangkutan tidak mendapat tugas tambahan misalnya sebagai instruktur atau kepala sekolah. Akibatnya dari kenyataan ini mereka yang berdidikasi, berkompetensi, bertangguing jawab dan berprestasi menjadi frustasi dan masa bodoh terhadap dunia pendidikan. Hal ini tentunya merupakan kerugian bagi kita semua. Oleh karena itu, disdik perlu membuat suatu strategi dan program untuk memperdayakan guru yang berpotensi untuk mengembangkan pendidikan di daerahnya. Dengan demikian, mutu pendidikan di daerahnya akan lebih baik.

Selain itu, guru yang mendapat tugas tambahan sebagai kepala sekolah karirnya juga perlu mendapat perhatian. Selama ini, guru yang mendapat tugas tambahan sebagai kepala sekolah yang masa tugasnya sebagai kepala sekolah telah habis yang bersangkutan kembali menjadi guru atau menjadi pengawas. Seharusnya, jika ada kepala sekolah yang berprestasi , sedangkan masa jabatan sesuai dengan kepmen diknas 162/u/2003 telah habis yang bersangkutan dapat dipromosikan menduduki jabatan struktural terutama dalam pengelolaaan pendidikan. Dengan demikian, karir guru tidak terhenti sampai instruktur, kepala sekolah, atau pengawas. Mereka yang berprestasi berhak menduduki jabatan struktural. Jadi tidak ada alasan lagi untuk menolak mereka yang menduduki jabatan fungsional mutasi menduduki jabatan struktural, karena sesuai dengan edaran dari Menpan yang terakhir hal tersebut diperbolehkan.

Kesimpulan dan saran

Inovasi pendidikan yang dilakukan secara komprehensip pada semua lingkup yang melibatkan semua komponen pemkot/pemkab, disdik, sekolah, LSM pendidikan dan masyarakat diharapkan akan dapat meningkatkan kualitas pendidikan di Kalimantan Timur. Pendidikan yang bermutu tersebut akan dapat terwujud jika ada tekat, kemauan, dan keiklasan dari pengambil kebijakan, pelaku pendidikan, dan masyarakat secara konsisten melakukan usaha perbaikan dan melaksanakan program- program pendidikan yang telah ditetapkan. Di samping itu, yang harus dipikirkan disdik ke depan untuk menuntaskan wajib belajar dan mengurangi atau menanggulangi anak putus sekolah perlu membuka sekolah satu atap, dan sekolah keliling (singgah). Terakhir auto kritik dan evaluasi kinerja hendaknya selalu dilakukan untuk mencapai kesempurnaan kerja.