Oleh : Mulyadi, M.Pd.
Guru SMPN 22 Samarinda, Wakil Sekretaris PGRI Samarinda.
Dimuat Harian Kaltimpost tanggal 25 November 2005
Artikel ini penulis hadirkan dalam rangka memperingati hari Guru Nasional tanggal 25 November 2005 dan sekaligus mengangkat problem yang berkaitan dengan profesi guru khususnya di Kaltim. Sebelum kita membahas potret profesi guru marilah kita simak penggalan syair himne guru berikut :
“Terpujilah wahai engkau Bapak Ibu guru. Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku. Bagai prasasti trima kasihku untuk pengabdianmu …, Engkau bagai pelita dalam kegelapan. Engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa’’.
Lagu himne guru ini sering dinyayikan oleh para siswa pada saat upacara bendera atau perpisahan. Siapapun yang mendengarkan akan tersentuh hatinya, bahkan tidak jarang meneteskan air mata. Syair Lagu himne guru ini berisi ucapan terimakasih dan sanjungan terhadap profesi guru yang telah banyak jasanya terhadap bangsa dan negara. Yang masih menjadi pertanyaan dalam hati sang guru adalah apakah benar bahwa namanya selalu dikenang oleh mantan muridnya? Apakah benar masyarakat dan pemerintah berterima kasih secara tulus? Jika benar tindakan apa yang telah diperbuat masyarakat dan pemerintah untuk peningkatan profesionalisme maupun kesejahteraan guru?
Realitasnya profesi guru tidak semuanya seperti apa yang digambarkan dalam lagu himne guru. Tidak jarang murid yang dulu dididik dengan kesabaran dan keikhlasan, sekarang bersikap sebaliknya jika bertemu atau berpapasan di jalan mereka masa bodoh dan cuek. Tentunya tindakan tersebut sangat menyakitkan hati sang guru.
Guru seharusnya tidak cukup hanya diberikan ucapan terima kasih, sanjungan, dan hiburan melalui lagu lagu. Hal yang lebih penting bagi guru adalah adanya peningkatan profesionalisme, perlindungan, kesejahteraan, penghargaan yang layak, dan kelancaran karir.
Para guru dituntut untuk profesional dalam bidangnya, tetapi disisi lain pengabdian dan kerja kerasnya kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah. Nasip guru mulai dari orde lama sampai dengan era reformasi masih sangat memprehatinkan tidak semujur profesi lainnya. Hal ini disebabkan pemerintah ataupun yayasan (guru swasta) belum dapat memberikan gaji yang layak bagi guru seperti negara Brunai, Malaysia, Jepang, maupun Amerika Serikat. Gaji yang mereka diterima tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya apalagi untuk rumahtangganya.
Guru dalam memenuhi kebutuhan hidup yang layak, mereka harus berjuang dan bekerja keras mencari penghasilan tambahan. Hal yang dilakukan guru khususnya di kaltim antara lain mengajar di sekolah lain, memberikan les privat, berjualan, bahkan menjadi tukang ojek. Oleh karena itu, tidaklah salah jika muncul pertanyaan bagaimana mereka dapat berpikir profesionalisme jika kebutuhan pokoknya saja (karbo hidrat) tidak terpenuhi? Apalagi untuk membeli buku-buku yang menunjang profesinya, bagaimana pendidikan dapat maju jika pendidiknya masih banyak menghadapi permasalahan?. Pertanyaan pertanyaan tersebut memerlukan jawaban berupa tindakan (kebijakan) nyata pemerintah dan pemerintah daerah untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi guru. Namun demikian, apa yang telah dilakukan guru tidak semuannya mendapat tanggapan positif dari masyarakat, bahkan menumpahkan semua kesalahan pada guru seperti yang disampaikan Nandar Suryadarna (kalimpost 12/11/2005)
Penulis tidak sependapat dengan sebagian komentar Nandar Suryadarna Ketua Jaringan Antikorupsi untuk Keadilan Rakyat (Jantrak) lewat artikelnya berjudul Sukses Pendidik Melalui Keteladanan (Kaltimpost 12/11/2005) tersebut. Dalam tulisannya dia mengatakan “Banyaknya koruptor tak terlepas dari realitas "guru kencing berdiri, murid kencing berlari." Membenahi semua ini harus dimulai dari para pendidik itu sendiri, agar mereka jadi layak menyandang predikat pahlawan tanpa tanda jasa”.
Komentarnya tersebut hanya menyudutkan dan menumpahkan semua kesalahan pada guru. Dia melakukan analisis hanya dengan satu sudut pandang tidak komprehensip. Padahal permasalahan pendidikan yang berkaitan dengan mutu sangat kompleks, melibatkan berbagai komponen guru, siswa, sekolah, keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Sehebat apapun guru jika keluarga dan mayarakat tidak mendukung secara aktif dan kurang menjalankan peran dan fungsinya secara baik maka tujuan yang ingin dicapai guru akan kandas. Kita harus membuka mata dan menyadari bahwa masalah korupsi merupakan masalah moralitas yang menjadi tanggung jawab kita bersama. Kita tidak bisa menyalahkan hanya satu komponen guru. kita harus mau intropeksi, berpikir logis, dan mau melihat realita bahwa siswa atau seseorang sebagian besar waktunya digunakan di lingkungan keluarga, dan masyarakat bukan di sekolah. Kualitas pendidikan (manusia yang berimtaq dan beriptek) dapat terwujud jika berbagai komponen (guru, siswa, keluarga, masyarakat, sekolah/pemerintah) melakukan kerjasama secara sinergi dan sestemik.
Di samping saudara Nandar Suryadarna harus mengetahui bahwa guru dan organisasi guru sekarang lagi berjuang keras untuk mengubah predikat atau gelar guru sebagai “Pahlawan tanpa tanda jasa seperti yang saudaraka katakan menjadi Pahlawan dengan penuh jasa.”. Dengan demikian, guru dihargai sesuai dengan jasa dan pengabdiannya sehingga mereka dapat hidup layak
Penulis mengakui belum semua guru kompeten, disiplin, dan masih ada yang berjualan buku tetapi mereka tidak “memungut uang masuk sekolah”. seperti yang anda tulis. Guru menyadari bahwa memungut uang masuk sekolah bukan hak, kuwajiban, tanggung jawabnya tetapi merupakan hak dari komite sekolah dengan pihak sekolah yang dimusyawarahkan dengan orang tua siswa. Apa yang disampaikan penulis (Nandar Suryadarna) menandakan bahwa yang bersangkutan belum memahami dan mengerti hak ,tugas, dan kewajiban seorang guru.
Jika dipertanyakan mengapa guru tidak berkompeten, kurang disiplin, menjual buku dan melakukan usaha usaha lain? Maka hal ini akan memunculkan sederet pertanyaan berapa besar gaji guru ( kesejahteraannya), bagaimana rekuitmen guru? Bagaimana peran pemerintah dan masyarakat dalam meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan guru?
Dalam era reformasi dan otonomi daerah pemerintahan daerah (pemkot/pemkab) di Kaltim telah berupaya memberikan perhatian terhadap kesejahtaraan dan karir guru antara lain memberikan tunjangan insentif dan memberikan beasiswa untuk melanjutkan study ke jenjang S2 (pascasarjana). Tunjangan insentif yang diberikan sangat bervariasi antara daerah satu dengan daerah lainnya walaupun berada dalam satu provinsi di Kalimantan Timur, dengan argumentasi disesuaikan dengan kemampuan pemerintah kabupaten dan kota masing-masing. Kebijakan ini mengakibatkan kesenjangan tingkat penghasilan dan kesejahteraan guru antar daerah di Kaltim. Sebagai contoh pemerintah daerah A memberikan insentif guru Rp. 750.000/bulan, pemda B Rp. 250.000,-/bulan, Pemda C Rp. 200.000,-/bulan, Pemda D Rp 650.000/bulan, dan Pemda E Rp 450.000,-/bulan.
Berdasarkan data tersebut jelas bahwa insentif yang diterima guru antar daerah di Kaltim sangat beragam bahkan terjadi ketimpangan yang menyolok seperti daerah A dan C ( 750.000 : 200.000). Padahal mereka mengabdi dan memajukan pendidikan di daerah yang sama yaitu Kaltim. Oleh karena itu, Pemprov harus berusaha mengurangi kesenjangan insentif guru tersebut dengan cara memberikan subsidi/insentif pada daerah yang gurunya insentifnya kecil sehingga akan menambah motivasi para guru.
Guru merupakan jabatan fungsional yang sebentar lagi akan menjadi jabatan profesi. Untuk meniti karir atau naik pangkat mereka harus melakukan berbagai kegiatan antara lain merencanakan dan melaksanakan program pengajaran, melakukan evaluasi, menganalis hasil ulangan, dan melakukan program perbaikan dan pengayaan. Tentunya untuk dapat melakukan tugas dan kewajibanya tersebut diperlukan kemauan, motivasi, kompetensi dan kreativitas. Hanya guru yang berkompeten dan kreatiflah yang dapat mengembangkan diri secara profesional.
Sayangnya, guru yang berkompeten dan kreatif ini karirnya terhenti hanya sebagai guru. Akibatnya mereka yang berdidikasi, berkompetensi, bertangguing jawab dan berprestasi menjadi frustasi dan masa bodoh terhadap dunia pendidikan. Hal ini merupakan salah satu kerugian bagi kita semua. Oleh karena itu, disdik perlu membuat suatu strategi dan program untuk memperdayakan guru yang berpotensi untuk mengembangkan pendidikan di kota/kabupaten masing-masing. Dengan demikian, mutu pendidikan di daerahnya akan lebih baik.
Otonomi (otoritas) Guru
Birokratisasi yang berlebihan dalam dunia pendidikan telah menyebabkan guru kehilangan otoritasnya sebagai seorang pendidik dan pengajar. Selama ini guru hanya dijadikan operator dalam pendidikan karena materi yang harus diajarkan seorang guru telah diatur rigid dalam kurikulum, buku-buku pelajaran yang akan dipergunakan ditentukan dari atas, bahkan kewenangan guru untuk melakukan evaluasi terhadap anak didiknya dirampas.
Jika guru hanya dianggap sebagai operator, tidak diberi otoritas dan tidak dipercaya saat mengajar di depan kelas, itu merupakan penghinaan terhadap profesi guru. Seorang guru yang pandai akan percuma saja bila ia tidak diberi otoritas dalam mengajar. Jika memang kompetensi guru dalam mengajar kurang, yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah memberdayakan mereka bukan malah memotong otoritas yang dimiliki seorang guru. Dengan memiliki otoritas di kelas memungkinkan guru mengajar secara fleksibel tidak terpaku pada detail kurikulum atau apa yang dikatakan dalam buku. Fleksibilitas ini cocok bagi masyarakat Indonesia yang plural dan wilayah negara yang sangat luas.
Penulis mengakui, Kurikulum Berbasis Kompetensi yang mulai diberlakukan telah mencoba mengembalikan otonomi guru dalam menentukan metodologi maupun isi pengajaran. Akan tetapi menurut pengamatan dalam pelaksanaannya ada kecenderungan kembali lagi pada pola lama. Hanya istilahnya saja yang berubah model pengajarannya masih sama.Contohnnya kompetensi dasar dalam istilah Kurikulum Berbasis Kompetensi disejajarkan dengan tujuan instruksi umum. Indikator disamakan dengan tujuan instruksi khusus.
Di era reformasi dan otonomi ini guru harus bangkit jangan mau hanya dijadikan boneka (robot) yang hanya menjalankan perintah yang belum tentu benar. Guru harus berani membuat atau melakukan terobosan terobasan untuk karir, profesionalisme, dan kesejahterannya. Oleh karena itu, tanamkan jiwa otonomi (kemandirian), dan keberanian dalam dada untuk memperjuangkan nasip, masa depan diri sendiri, dan kemajuan pendidikan..
Mencermati PP No 19 2005 dan RUU Guru
Guru merupakan tenaga profesional dibidang pembelajaran. Artinya bahwa pekerjaan guru harus memiliki kualifikasi akademik dan penguasaan kompetensi yang sesuai dengan jenis dan jenjang pendidikan. Kualifikasi akademik yang disyaratkan untuk menjadi guru Usia dini/ TK/SD/SLTP/SLTA sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomer 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) minimal berijazah Sarjana (S1) atau Diploma empat (D-IV). Ironisnya di ibu kota provinsi ini masih ada sekolah menengah yang menerima guru dengan ijazah SLTA, apalagi bidang yang diajarkan tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan dan keahliannya. Kebijakan ini jelas merupakan tindakan gila dan meremehkan profesi guru.
Tujuan pemerintah mengharuskan pendidik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah harus S1 adalah untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Namun demikian, menguliahkan kembali para guru belum tentu akan membantu peningkatan keprofesionalisme . Hal ini karena tujuan mereka kuliah hanya mengejar gelar atau untuk memenuhi persyaratan saja. Sementara penambahan pengetahuan dan keterampilan mengajar dan mendidik menjadi terabaikan. Jika yang terjadi demikian, maka selain kualifikasi akademik S1 perlu dibuat perencana pelatihan secara berkesinambungan untuk meningkatkan kompetensi guru.
Di Kaltim masih banyak guru yang belum memiliki kualifikasi akademik S1 terutama untuk tingkat usia dini, TK, dan SD/MI. Oleh karena itu, perlu mendapat perhatian serius dari pemprov/pemkot/pemkab jika pendidikan di daerahnya tidak ingin tertinggal dari daerah lain. Hal yang harus dilakukan pemprov/pempkot/pemkab mengalokasikan dana dalam APBD untuk beasiswa bagi guru yang belum sarjana ( S1) .
Jika kita mencermati RUU guru per Mei 2005, seorang guru juga dituntut untuk memiliki dan meningkatan kompetensinya. Kompetensi yang harus dimiliki guru adalah kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi sosial, dan kompetensi kepribadian ( RUU guru per 25 mei 2005). Untuk mencapai dan memiliki keempat kompetensi ini seorang guru perlu bekerja keras dengan cara banyak belajar mencari informasi dari berbagai sumber sehingga dapat mengembangkan diri dan menjalankan tugasnya secara baik. Namun, untuk mencapai keempat kompetensi tersebut tidak semudah mengucapkan memerlukan keikhlasan, kemaun, pengorbanan serta pelatihan yang dilakukan secara terencana, terprogram dengan baik.
Di samping itu, draf RUU Guru belum memberikan perlindungan dan harapan bagi guru honorer. Dalam RUU Guru ini hanya memberikan harapan pada guru PNS dan guru tetap non PNS untuk mendapat perlindungan. Dalam pasal 15 ayat 1 RUU Guru dikatakan bahwa guru tetap non-PNS memperoleh penghasilan sekurang-kurangnya sama dengan penghasilan guru tetap PNS. Sedangkan, guru honorer berdasarkan kesepakatan antar guru dengan pihak sekolah (yayasan). Hal tersebut membuktikan bahwa guru honorer belum terlindungi dan masih harus berjuang untuk mendapatkan kesejahteran.
Yang menjadi persoalan dengan berubahnya jabatan guru menjadi jabatan profesi dan banyaknya tuntutan terhadap kompetensi guru adalah berapa besar guru akan diberikan gaji?. Sebab RUU guru yang sudah disetujui presiden dan dibahas di DPR masih ada 2 persoalan yang krusial yaitu masalah pidana dan penetapan standar gaji guru (kaltimpost10/11/205). Oleh karena itu, guru dan organisasi profesi guru harus terus dan tetap berjuang agar strandar gaji yang ditetapkan dapat meningkatkan kesejahteraan guru. Dengan UU Guru diharapkan guru mendapat perlindungan hukum terkait dengan perlindungan profesi, perlindungan kesejahteraan, jaminan sosial, dan perlindungan hak dan kewajiban. Selamat berjuang, tingkatan profesionalisme dan otomoni dalam diri Anda untuk menjadi manusia yang berguna bagi bangsa dan negara. Amin
0 komentar:
Posting Komentar