Oleh Mulyadi, M.Pd
Guru SLTPN 22 Samarinda, Pemerhati Pendidikan dan Moral Anak (PPMA)
Dimuat Harian Swara Kaltim berseri pada tanggal 5, 12,13 Januari 2004
Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki tingkat pluralisme yang sangat tinggi, baik dalam bidang bahasa, suku bangsa, adat istiadat, kebudayaan, maupun agama. Bagi negara yang pluralismenya tingi seperti Indonesia kerawanan dan ancaman permusuhan antara sesama warga negara sewaktu-waktu akan muncul jika tidak diantipasi dengan baik. Akhir-akhir ini kita ketahui terjadi kerusuhan sosial yang berbau SARA, seperti di Ambon, Sambas, Kapuas, Poso. Di samping itu juga ada gerakan separatis seperti Gerakan Aceh Merdeka, Gerakan Maluku Merdeka yang dimotori oleh RMS.
Berdasarkan hal tersebut di atas kita perlu melihat kembali peran pendidikan khususnya Pendidikan Kewarganegaraan dalam mencegah desintegrasi bangsa. Kewarganegaraan (Citizenship) merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan diri yang beragam dari segi agama, sosio-kultural, bahasa, usia, dan suku bangsa untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Di dalam Pendidikan Kewarganegaraan ini memuat pendidikan moral (budi pekerti), pendidikan politik, pendidikan falsafah negara, pendidikan kewarganegaraan, pendidikan bela negara, pendidikan sosial dan pendidikan budaya. Semuanya itu untuk mencapai character building, yang natinya akan mempengaruhi pola pikir dan perilaku siswa.
Tujuan mata pelajaran Kewarganegaraan di Sekolah adalah untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan sebagai berikut:
(1) berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan,
(2) berpartisipasi secara bermutu dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,
(3) berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan pada karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya.
(4) berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
`Dengan demikian, siswa dituntut untuk berpartisipasi dan bertanggung jawab dalam kegiatan berbangsa dan bernegara dalam bingkai negara kesatuan yang berarti harus tetap berintegrasi dalam wadah Negara Kesatuan Indonesia. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dalam paradigma lama cenderung indokrinasi, menekankan aspek kognitif dan mengabaikan aspek afektif, dan psikomotor. Pembelajaran dengan paradigma lama ini mengakibatkan siswa pasif, kurang kreatif dan inovatif. Akibat yang lain adalah siswa hanya memiliki pengetahuan tentang sesuatu namun tidak mempraktikan dalam kehidupanya.
Kemampuan yang hendak diwujudkan Pendidikan kewarganegaraan ini adalah kemampuan untuk menguasai pengetahuan kewarganegaraan, kemampuan untuk memiliki keterampilan kewarganegaraan, kemampuan untuk menghayati dan mengembangkan karakter kewarganegaraan. Dengan kemampuan itu diharapkan dapat meminimalisasi kesenjangan antara teori dan praktik, sebab ilmu bukan hanya sekedar kekayaan intelekual tetapi juga memiliki kegunaan praktis. Hal ini mendidik siswa untuk dapat dan mampu menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan paradigma baru diharapkan guru dapat mengembangkan kompetensi siswa yang multidemensi. Guru dalam paradigma baru ini lebih bertindak sebagai fasilitator dan dinamisator. Sebagai fasilitator dan dinamisator guru akan memberikan kesempatan dan mendorong siswa untuk berinteraksi, baik sesama siswa maupun dengan guru itu sendiri. Siswa dapat berpartisipasi sebagai warga negara yang efektif dan bertangung jawab. Latihan berpikir kritis dan rasional, kegiatan memecahkan masalah, teknik belajar kooperatif dapat bermanfaat bagi siswa untuk menghayati dan melaksanakan sikap toleransi dalam kehidupanya. Untuk itu maka siswa harus diberikan kesempatan untuk meyampaikan gagasan dan argumentasinya.
Dalam Standar Kompetensi Pendidikan Kewarganegaraan dikatakan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan dapat menjadi pengikat untuk menyatukan fisik rakyat Indonesia yang beragam dari segi agama, bahasa, usia dan suku bangsa tentang budaya kebersamaan yang tetap mendukung berdirinya Republik Indonesia. Oleh karena itu. kewarganegaraan harus menjadi bahasa utama pada jenjang pendidikan dasar dan menengah..
Landasan yang digunakan Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia meliputi landasan filosofis, landasan sosial budaya, dan landasan pedagogis. Landasan filosofis pada umumnya mencakup landasan ontologis dan landasan antropologis. Secara antologis realitas pada dasarnya ada yang bersifat material dan ada yang bersifat non material. Sedangkan, landasan antropologis menempatkan manusia sebagai ciptaan Tuhan, maka dari itu wujud dan sifatnya berbeda dengan penciptanya. Wujud penampilan manusia adalah jiwa dan raga.
Landasan sosial budaya mengandung dua usur yaitu unsur sosial, yang berupa interaksi di antara manusia dan unsur budaya yaitu bentuk kelakuan yang sama didalam kelompok manusia. Di samping kedua landasan tersebut di atas masih ada landasan lain yaitu landasan pedagogis. Landasan ini digunakan untuk menolong manusia dalam mencapai tujuan hidupnya. Kita menyadari bahwa manusia pada saat dilahirkan mereka tidak berdaya dan masih memerlukan pertolongan orang lain. Tanpa bantuan orang lain maka seorang bayi tidak dapat melangsungkan kehidupanya Berdasarkan kenyataan ini maka dapat kita fahami bahwa pendidikan pada dasarnya merupakan bantuan yang sengaja diberikan untuk mendewasakan seseorang.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa landasan filosofis, sosial budaya, dan pedagogis pada dasarnya mengarahkan manusia supaya dapat hidup secara manusiawi sesuai dengan martabat manusia yang mulia dan menjadi warga negara yang baik mengerti akan hak, kewajiban dan tanggung jawabnya, sehingga dapat menjaga integritas atau keutuhan bangsa dan negaranya.
Visi Pendidikan kewarganegaraan adalah membangun bangsa yang berbudaya Pancasila, artinya Pancasila yang merupakan pandangan hidup bangsa dan dasar negara perlu dihayati dan diamalkan secara nyata untuk menjaga kelestarian dan keampuhannya demi terwujudnya tujuan nasional serta cita-cita bangsa seperti tercermin dalam pembukaan UUD 1945. Sedangkan, misi Pendidikan Kewarganegaraan adalah menigkatkan kualitas kemandirian manusia Indonesia ke arah persatuan bangsa.
Guru dalam pembelajaran di kelas hendaknya menghubungkan materi yang diajarkan dengan keadaan sosial bangsa Indonesia yang plural ini. Pengenalan persoalan-poersoalan yang ada atau sedang terjadi di masyarakat maka akan melatih siswa untuk menganalisa kehidupan nyata di sekitarnya. Dengan demikian, diharapkan akan tumbuh siswa yang kritis, kreatif serta tanggap terhadap lingkungan masyarakat, bangsa dan negara.
Harapan lebih jauh adalah siswa nantinya dalam hidup di masyarakat akan berupaya untuk menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi dan memahami adanya pluralitas di masyarakat. Berdasarkan pengetahuan dasar yang dimiliki waktu belajar di sekolah mereka dapat mengembangkan sikap toleransi dan bekerja sama sesama warga masyarakat. Perilaku-perilaku tersebut jika dimiliki oleh seluruh warga negara maka akan terwujud persatuan bangsa dan disintegrasi dapat dicegah sedini mungkin dengan kesadaran sebagai suatu bangsa dan tanah air.
0 komentar:
Posting Komentar