Oleh Mulyadi, M.Pd.
Pemerhati Pendidikan dan Moral Anak (PPMA) tinggal di Samarinda
Dimuat harian Swara Kaltim bagian DIKNAS berseri pada tanggal 9, 10, 11, Oktober 2003
Pada saat sekarang ini telah terjadi perubahan yang cukup signifikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara baik sebagai akibat konstelasi politik dalam negeri maupun politik global. Demokrasi dan hak asasi manusia merupakan isu sentral yang diperbincangkan sebagai wacana yang telah mempengaruhi pola pikir masyarakat dan bangsa Indonesia.
Implementasi demokrasi dalam suatu negara sangat memerlukan sikap demokratis dari setiap warga negaranya. Oleh karena itu, setiap warga negara memiliki kewajiban untuk mengembangkan sikap demokratis dalam berbagai kehidupan.
Untuk melaksanakan demokrasi di Indonesia saat ini terdapat berbagai tantangan. Tantangan itu adalah kurangnya kesadaran kemajemukan yang mengakibatkan terjadinya fenomena disintegrasi. Di samping itu tantangan yang lain adalah ketidakmampuan untuk bermusyawarah, praktik-praktik tujuan yang menghalalkan segala cara, kurangnya permusyawaratan yang jujur dan sehat, terjadinya krisis ekonomi dan tidak ada kepercayaan antarwarga masyarakat. Hal ini diperkuat hasil survey dari National Survey of Voter Education" (Asia Foundation, 1998) menunjukkan bahwa lebih dari 60% dari sampel nasional mengindikasikan belum mengerti tentang apa, mengapa, dan bagaimana demokrasi.
Tantangan tersebut harus segera diatasi oleh seluruh lapisan masyarakat baik itu elit politik maupun rakyat. Upaya dan strategi untuk mengatasi tantangan itu melalui pendidikan khususnya pendidikan demokrasi. Salah satu tempat yang strategis untuk menanamkan sikap demokratis adalah di lingkungan sekolah. Sekolah sebagai lembaga pendidikan memiliki tanggung jawab untuk membentuk generasi muda yang beriman, bertaqwa, berilmu, bermoral dan memiliki sikap demokratis. Secara khusus mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan berusaha untuk menanamkan nilai, norma, dan moral, kepada peserta didik dengan tujuan agar memiliki pengetahuan tentang hukum, politik, moral, dan sikap demokratis.
Namun kenyataannya, berdasarkan berbagai penelitian yang dihimpun oleh Djahiri (1998) menunjukkan bahwa praksis pendidikan demokrasi, dalam hal ini melalui PMP/PPKn/Penataran P-4 cenderung menitikberatkan pada penguasaan aspek pengetahuan dan mengabaikan pengembangan sikap dan keterampilan kewarganegaraan, dengan menggunakan pendekatan ekspositori yang cenderung indoktrinatif. Hal ini kurang memberi kesempatan secara luas kepada siswa untuk menyampaikan ide-ide, mengembangkan pengalaman dan potensi yang dimiliknya. Akibatnya siswa memiliki pengetahuan tentang demokrasi tetapi tidak mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari dan siswa kurang kritis dan kreatif terhadap suatu permasalahan.
Di samping itu metode mengajar guru selama ini lebih banyak menggunakan ceramah, yang hanya mentransfer pengetahuan (transfer of knowlage) kepada siswa. Hal ini mengakibatkan situasi belajar membosankan, siswa pasif, dan kurang mendukung untuk pembentukan sikap demokratis. Strategi pembelajaran guru tersebut harus direformasi dengan strategi pembelajaran yang mengakibatkan siswa dapat mengembangkan potensi yang dimiliki.
Dalam menerapkan prinsip-prinsip demokrasi guru harus secara teratur menggunakan berbagai strategi pembelajaran interaktif seperti diskusi masalah-masalah aktual, sosial, dan membahas suatu masalah dari berbagai sudut pandang. Model dan strategi mengajar guru dialog-interaktif yang bersifat partisipatoris tersebut akan mengakibatkan interaksi antara siswa dengan guru dan antara siswa sendiri. Metode ini supaya berjalan dengan baik harus dikembangkan sikap menghargai perbedaan pendapat, toleransi terhadap orang lain, kemampuan berpikir kritis, musyawarah yang sehat dan jujur, menyampaikan pendapat yang santun, dan saling mempercayai.
Siswa sebagai salah satu komponen generasi muda, harus terus-menerus dibina dan dikembangkan sikap dimokratisnya, untuk itu perlu pendekatan dan strategi. Pendekatan dan strategi secara rinci yang dapat dilakukan guru agar siswa dapat mengembangkan sikap demokratis adalah sebagai berikut:
Pertama, merencana dengan baik rencana pembelajaran yang akan digunakan dalam proses pembelajaran di kelas. Guru sebelum mengajar seharusnya membuat rencana pelajaran yang dapat menciptakan iklim kondusif yang dijadikan rujukan untuk mengajar di dalam kelas. Pada umumnya guru tidak mempersiapkan dengan baik, kalaupun ada biasanya rencana pengajaran yang digunakan berupa foto copy yang dibuat oleh orang lain sehingga guru dalam kelas tidak bisa menerapkan dan mengembangkan secara maksimal dan belum tentu rencana pelajaran tersebut sesuai dengan kondisi dan situasi siswa yang di ajarnya.
Kedua, menggunakan strategi dialog interaktif.dengan berbagai metode mengajar yang dapat menciptakan siswa mengembangkan sikap demokratis. Metode tersebut antara lain diskusi, Value Technik clarifikasi, sosio drama, liputan, bermain peran, analisi nilai, dilema moral dsb. Metode mengajar yang digunakan guru selama ini lebih banyak ceramah yang mengakibatkan siswa pasif, tidak kreatif, dan tidak inovatif.
Ketiga, menggunakan berbagai media pengajaran. Pada hakikatnya pembelajaran adalah suatu proses komunikasi. Proses komunikasi harus diwujudkan melalui kegiatan penyampaian dan tukar menukar informasi yang berupa pengetahuan, keahlian, skill, ide, pengalaman, dan sebagainya. Melalui proses komunikasi, pesan atau informasi dapat diserap dan dihayati orang lain. Agar tidak terjadi kesesatan dalam proses komunikasi perlu digunakan sarana yang membantu proses komunikasi yang disebut media. media pembelajaran memiliki fungsi sebagai berikut: Membangkitkan motivasi belajar, mengulang apa yang telah dipelajari, menyediakan stimulus belajar, mengaktifkan respon peserta didik, memberi balikan dengan segera, menggalakkan latihan yang serasi
Keempat, mengangkat isu-isu yang aktual di kelas. Guru harus kreatif untuk mencari masalah-masalah yang aktual di lingkungan sekolah, daerah, nasional, maupun global. Dengan membawa isu-isu aktual di dalam kelas diharapkan akan menambah kegairahan, semangat, motivasi, dan minat siswa untuk mengikuti pelajaran.
Kelima, guru bertindak sebagai fasilitator, dinamisator dan mediator. Sebagai fasilitator, pendidik harus memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mencoba menemukan sendiri makna informasi yang diterimanya. Sebagai dinamisator, pendidik harus berusaha menciptakan iklim proses pembelajaran yang dialogis dan berorientasi pada proses. Sebagai mediator, pendidik harus memberikan rambu-rambu atau arahan agar peserta didik bebas belajar. Sebagai motivator, pendidik harus selalu memberikan dorongan agar peserta didiknya bersemangat dalam menuntut ilmu
Keenam, menciptakan situasi kelas yang kondusif dan lebih longgar. Dalam situasi kelas yang kondusif, terbuka dan longgar, guru akan membawab “ contraversial issue” ke dalam kelas untuk didiskusikan dan dikaji oleh siswa. Siswa memiliki kesempatan seluas-lusanya untuk menyampaikan pendapat dan mempertahankannya, tetapi siswa akan belajar untuk menghargai pendapat orang lain, meskipun pendapat tersebut berbeda dengan apa yang dimiliki, bahkan apa yang diyakini.
Ketujuh, memposisikan atau menempatkan siswa sebagai subjek bukan obyek. Siswa adalah manusia yang memiliki potensi, kewajiban guru mengembangkan potensi yang ada dalam diri siswa. Dalam hal ini siswa lebih aktif, kreatif dan enovatif, sedangkan guru memposisikan diri sebagai fasilitator, mediator, motivator.
Kedelapan, keteladanan guru dalam bertindak baik di kelas maupu di luar kelas. Pengaruh guru dalam sosialisasi nilai-nilai demokrasi pada tingkat sekolah menengah sangat ditentukan oleh kridibelitas guru itu sendiri. Kalau di mata murid merupakan sosok yang dapat dipercaya, mampu dan dapat dijadikan model bagi para siswa maka pengaruh guru cukup besar. Sebaliknya kalau guru yang tidak dapat dipercaya, tidak mampu, dan tidak dapat dijadikan model, pengaruh guru dalam mensosialisasikan nilai-nilai demokrasi sangat kecil. Hal ini akan menghambat penanaman sikap demokratis itu sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar