Oleh: Mulyadi, M.Pd.
Guru SLTPN 22 Samarinda, Pemerhati Pendidikan dan Moral Anak (PPMA)
Dimuat Harian Kaltimpost pada tanggal 5 Pebuari 2004
Pada Era Reformasi dan otonomi daerah para birokrat, politisi, PNS, maupun warga masyarakat bersemangat untuk melanjutkan studi. Ada beberapa alasan dan tujuan mengapa mereka melanjutkan studi. Sebagian dari mereka memiliki tujuan untuk meningkatkan ilmu yang dimiliki, sebagian untuk meningkatkan karir (menduduki dan mempertahankan jabatan), dan yang terakhir hanyalah sekedar untuk gagah-gagahan.
Penulis katakan hanya untuk gagah-gagahan, karena mereka melanjutkan studi hanyalah menginginkan suatu gelar bukan ilmu untuk meningkatkan diri. Gelar yang didapatkanpun kalau bisa didapat dengan mudah tidak memerlukan perjuangan dan kerja keras. Bahkan sebagian dari mereka untuk mendapat gelar menggunakan jalan pintas yaitu dengan cara membeli.
Sebelum kita mengkaji lebih jauh tentang jual beli gelar ada baiknya kita menjawab terlebih dahulu pertanyaan,"Apakah jual beli gelar dirasakan bermanfaat dan menguntungkan bagi masyarakat ?" Jawaban atas pertanyaan ini tentu bermacam-macam. Mereka yang merasakan diuntungkan secara langsung akan menjawab "ya", namum mungkin sebagian lagi akan menjawab "tidak” Mereka yang menjawab ya tentunya tidak memiliki didikasi untuk meningkatkan diri, tidak bermoral, pemalas, dan mengambil enaknya saja.
Sekarang ini komersialisasi gelar di Indonesia semakin marak yang bekerjasama dengan institusi-institusi semacam Kennedy University dan JIMMS. Lembaga ini sebenarnya sudah dilarang untuk beroperasi tetapi masih laku juga. Jumlah lembaga yang dilarang beroperasi berdasarkan pengumuman dari Direktur jendral pendidikan Tinggi Depdiknas no 2014/D/T/2002 tgl 23 September 2002 dan yang dimuat kaltim post tgl 25 Oktober 2003 dan Swara kaltim , jika penulis gabungkan ada 34 buah, secara lengkap sebagai berikut:
1. Harward International University,
2. World Assosiation of Universities and Colleges,
3. American World University,
4. Northem California Global University,
5. Edtracon International Institute,
6. Institute of Business & Management "Global,
7. American Management University,
8. American Global University,
9. American International Institute of Management and Technology,
10. Jakarta Institute of Management Studies (JIMS),
11. Distance Learning Institute (DLI),
12. AIMS School of Business Law Washington International Institute,
13. American Institute of Management Studies,
14. International Distance Learning Program (IDLP),
15. San Pedro College of Business Administration Kennedy Western University,
16. University of Berkley,
17. Berkley International University,
18. American Genesco University,
19. Chicago International University
20. Yayasan Institut Pengembangan Wiraswasta Indonesia (IPWI)
21. IDI
22. Lembaga Menejemen Emanuel Indonesia (LMII)
23. YAKSI
24. School of RE
25. YABINDO
26. Pusat Studi Perkotaan Indonesia
27. Internasional University Trasfer Program
28. Masters Education
29. Yayasan Global Indonesia
30. Internasional Agyata Foundation
31. Lembaga Informasi Fasilitas Indonesia (LIFI)
32. Senior University
33. Washington Internasional University
34. Amirica of Bisunees of management Studies (AIMS)
Kerennya gelar di masyarakat mengakibatkan gelar mudah dicapai dan murah tinggal memilih mau yang mana asalkan membayar biaya wisudanya. Hal ini seperti yang ditawarkan oleh lembaga-lembaga pendidikan yang dilarang beroperasi seperti tersebut di atas.
Berdasarkan pengalaman teman-teman yang telah menjadi sasaran, biasanya di bawah kop surat yang di kirim terdapat tulisan perihal: ‘Panggilan Wisuda Gelar Kehormatan’ dan alinea pertama surat itu berbunyi: “Berdasarkan pilihan dan hasil Sidang Luar Biasa Guru Besar / Dosen Northern California Global University (NCGU) di Jakarta belum lama ini anda dinyatakan berhak sebagai penyandang Gelar Kehormatan Strata I, II, dan III (BBA, BSc, MBA,M.Sc., MHA, Ph.D., DBA, Doctor, Profesor). Anda boleh memilih salah satu gelar tersebut sesuai pendidikan tertinggi yang dimiliki.” Promosi lainnya yang disebutkan dalam lampiran adalah ‘Pejabat /tokoh masyarakat yang telah menerima pengharapan gelar DR-HC (GELAR KEHORMATAN)
Untuk mendapatkan ijazah S1 harus mengeluarkan uang 7,5 juta, untuk S2 = 8,5 juta, dan untuk S3 = 12,5 juta rupiah. Saya lantas berpikir begitu murahkah gelar doktor (Ph.D.) lagi, yang hanya seharga 1250 dollar? Padahal untuk memperoleh gelar P.hD. yang beneran tidaklah mudah, memerlukan perjuangan dan kerja keras. Untuk memperoleh gelar ini mereka harus belajar ke luar negeri bukan hanya nongkrong di rumah (Indonesia). Maka dari itu, kita harus menghargai terhadap masyarakat yang kritis dan berpikir jernih karena berani menolak gelar yang akan diberikan kepadanya seperti yang dilakukan ketua KNPI Kaltim dan yang lainnya.
Pada umumnya masyarakat kita, kurang menyadari bahwa memakai gelar yang diperoleh dari lembaga pendidikan yang di larang beroperasi dan gelar palsu dikenai sanksi hukum. Ketentuan ini termuat dalam undang-undang pendidikan nasional no. 20 tahun 2003. Pada pasal 68 ayat 2 dan pasal 69 ayat 1 Bab XX tentang ketentuan pidana secara lengkap berbunyi sebagai berikut:
Pasal 68 ayat 2 Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang diperoleh dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)” Sedangkan pada pasal 69 ayat 1 dikatakan “Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Setidaknya ketentuan pidana ini dapat mengerem maraknya jual beli gelar dan penggunaan gelar yang diperoleh secara ilegal. Pengguna gelar yang diperoleh secara ilegal (diperoleh dari lembaga yang tidak memenuhi syarat/palsu) seharusnya malu dan berpikir seribu kali, apa untungnya memakai gelar jika ilmu yang dimiliki di bawah gelar yang dipakai.
Kaltim merupakan sasaran yang empuk bagi mafia penjual gelar. Di sinyalir di kaltim ada PNS yang memakai gelar M.Sc. maupun P.hD. yang diperoleh secara ilegal (hanya nongkrong di rumah tanpa kuliah) yang seharusnya mereka harus studi di luar negeri. Penulis mengharapkan pemprov, pemkot dan pemkab lebih proaktif untuk mendata ijazah PNS yang berada di lingkunganya. Jika terbukti terdapat PNS yang memakai ijazah yang diperoleh dari lembaga yang dilarang beroperasi dan palsu maka sebagai konsekwensinya yang bersangkutan harus diberi sanksi atau di pecat dari PNS. Hal ini hendaknya juga berlaku untuk anggota legeslatif (DPRD).
Mereka kurang menyadari bahwa gelar yang disandangya memiliki kewajiban moral untuk meningkatkan diri dalam berbagai hal. Seharusnya kita memiliki paradigma bahwa ilmu yang kita miliki jangan sampai lebih rendah dari gelar yang kita pakai. Jika yang terjadi demikian, maka suatu saat sumber daya manusia akan berkualitas. Namun demikian, jika yang terjadi sebaliknya maka SDM kita akan merosot.
Sejak reformasi dan otonomi daerah digulirkan 2 tahun yang lalu, di Kaltim banyak perguruan tinggi baik negeri maupun swasta membuka program pascasarjana yang bekerja sama dengan universitas dari Sulawesi maupun Jawa. Hal ini dapat mempermudah masyarakat untuk melanjutkan studi, mereka tidak perlu jauh-jauh harus pergi ke luar daerah. Namun demikian, pembukaan program pascasarjana yang ada di Kaltim hendaknya tetap mengedepankan kualitas lulusan bukan hanya kuantitas.
Penulisan gelar dalam media cetak, elektronik, dan di kantor-kantor pemerintahan sekarang ini masih sering salah. Contohnya Drs. Zakaria Ihza Akbar, S.H., M.hum. Berdasarkan keputusan menteri pendidikan nasional RI Nomor 178/u/2001 tentang gelar dan lulusan perguruan tinggi pada BAB V Pasal 12 ayat 1 dijelaskan bahwa gelar akademik dan sebutan profesional yang digunakan oleh yang berhak menerima adalah satu gelar akademik dan/atau sebutan profesional jenjang tertinggi yang dimiliki oleh yang berhak.
Berdasarkan hal tersebut seharusnya penulisanya cukup menggunakan gelar yang tertinggi yaitu Zakaria Ihza Akbar, M.hum. Penulis heran mengapa di kaltim termasuk media masa sampai saat ini masih salah dalam penulisan gelar. Padahal saat penulis studi di pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta tahun 2001 keputusan menteri tersebut sudah dilaksanakan secara konsisten. Oleh karena itu, hendaknya media masa (cetak maupun elektronik) dapat mensosialisasikan kepada masyarakat tentang masalah penulisan gelar maupun jual beli gelar yang sedang marak
0 komentar:
Posting Komentar