Oleh Mulyadi, M.Pd.
Guru SMPN 22 Samarinda, Pemerhati Pendidikan dan Moral Anak (PPMA)
Dimuat Harian Kaltim post tanggal Agustus 2005
Pada abad 21 diperlukan kepala sekolah yang memiliki multi kecerdasan baik kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual. Dengan ketiga kecerdasaan tersebut diharapkan mereka dapat melaksanakan tugasnya sebagai kepala sekolah secara baik. Namun demikian, realitasnya sekarang tidak semua kepala sekolah memiliki ketiga kecerdasan tersebut secara seimbang. Oleh karena itu, perlu segera diadakan perggantian kepala sekolah yang tidak berkompeten dan habis masa tugasnya sebagai kepsek demi penyegaran dan regenerasi.
Akhir akhir ini memang masalah masa jabatan kepala sekolah. kususnya di Samarinda diperdebatkan berbagai pihak di media masa. Sebelum membahas masalah tersebut marilah kita jawab dua pertanyaan berikut : mengapa masa jabatan kepala sekolah diperdebatkan dan mengapa kepala sekolah yang masih menduduki jabatan sebagai kepala sekolah enggan untuk lengser?.
Kita harus berkata jujur dan menilai permasalahan masa jabatan kepala sekolah ini secara obyektif. Masa jabatan kepala sekolah diperdebatkan karena ada dua kepentingan berbeda yang saling tarik menarik. Kelompok pertama, menginginkan agar masa jabatan kepala sekolah mengacu pada kepmen diknas 162/u/2003. Artinya masa jabatan kepala sekolah 2 periode yakni 4 tahun, jika yang bersangkutan berprestasi dapat diperpanjang 1 masa tugas yaitu 4 tahun sehingga masa tugas keseluruhan 8 tahun.
Memang dalam Kepmen tersebut ada butir yang menyebutkan bahwa Kepsek bisa ditugaskan kembali setelah menjabat dua periode berturut-turut bila telah melewati tenggang waktu sekurang-kurangnya 1 kali masa tugas atau Kepsek bisa ditugaskan kembali bila memiliki prestasi istimewa dengan tanpa tenggang waktu dan ditugaskan di sekolah lain. Yang menjadi pertanyaan apakah ada kepsek yang memiliki prestasi istimewa di Samarinda? Yang mengetahui hal ini tentunya pengawas disdik, Kepala disdik kota, berdasarkan hasil evaluasinya. Sedangkan, merasakan dan mengetahui lebih detail tentang prestasi kepsek tentunya warga sekolah di mana kepsek tersebut memimpin. Hal inilah yang harus transparant jangan sampai tidak berprestasi tetapi dipertahankan terus sebagi kepsek.
Sedangkan, kelompok kedua untuk mempertahankan posisinya mereka mencari dasar hukum seperti perda agar dapat lebih lama duduk di singgasananya. Padahal perda yang mengatur masa jabatan kepala sekolah sendiri sampai sekarang belum ada. Jika suatu saat perda tentang kepsek ini dibuat yang jelas tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang undangan yang berada di atasnya. Jika bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berada di atasnya maka peraturan itu batal demi hukum.
Masa jabatan kepsek dibatasi tentunya memiliki tujuan. Tujuannya antara lain sebagai penyegaran dan regenerasi, menghindari terjadinya KKN. Kita harus sadar dan mau belajar serta mengambil hikmah dari sejarah perjalanan kepemimpinan di masa orde baru, bahwa seseorang yang memimpin terlalu lama cenderung kinerja turun, otoroter, dan korup. Jabatan merupakan amanah yang harus dilaksanakan dengan ihklas dan penuh tanggung jawab bukan dipertahankan untuk kepentingan pribadinya. Oleh karena itu, harus legowo jika suatu saat jabatan yang dipegangnya diambil oleh yang berwenang
Penulis sering mendengar berbagai berkomentar baik dari pemerhati pendidikan maupun teman-teman Umar Bakri tentang masa jabatan kepala sekolah. Mereka pada umumnya heran mengapa kepala sekolah yang sudah menjabat cukup lama tidak diganti (lengser) hanya diroling dari satu tempat ke tempat yang lain bagaikan permainan catur. Bahkan ada yang berpendapat ironis presiden, gubenur, bupati saja dibatasi 5 tahun dan dijalankan secara konsisten. Mengapa masa jabatan kepala sekolah yang sudah ada peraturannya (kepmen diknas no 162/u/2003) tidak dijalankan secara konsisten? Tentunya ini ada something wrong
Ungkapan yang diucapkan Umar Bakri tersebut tersirat nada protes, jenuh, dan menuntut keadilan. Mereka mengharapkan perubahan dalam dunia pendidikan khususnya tentang pemimpin sekolah, demi peningkatan mutu pendidikan. Kita juga harus menyadari bahwa suatu peraturan dibuat untuk ditaati bukan untuk dilanggar dan dijadikan hiasan. Dengan peraturanlah situasi aman, tentram, kebenaran dan kedilan dapat diwujudkan
Seperti di beritakan di kaltimpost (17-18/5) jika kepmen diknas 162/u/2003 diterapkan hampir tigaperempat kepsek SLTP dan SLTA di Samarinda memegang jabatan lebih dari 8 tahun. Hal ini seharusnya diganti tetapi realitas di lapangan menunjukkan kepmen diknas 162/u/2003 ini masih mandul atau tidak dilaksanakan secara konsisten. Dari kejadian tersebut siapa yang bersalah kepala sekolah, disdik atau pemkot.?
Kepala sekolah yang telah habis masa tugasnya sebagai kepsek enggan turun dari jabatanya disebabkan oleh beberapa hal antara lain tidak terapkannya keputusan menteri diknas no 162/u/2003 oleh disdik, adanya rasa gengsi kepsek untuk menjadi guru lagi. Seharusnya mereka berpikir dan memahami bahwa jabatan sebagai kepsek hanya tugas tambahan, kedudukan tetapnya menjadi guru. Namun demikian, sekarang berapa banyak kepala sekolah yang mau berdiri mengajar di depan kelas?. Pada umumnya, mereka lebih senang menjadi guru BP dibandingkan harus mengajar di kelas walaupun mereka sebelum menjabat sebagai kepsek menjadi guru bidang study. Hal inilah yang mengakibatkan enggan kembali menjadi guru. Seharusnya, mereka mencontoh rektor meskipun menjadi rektor mereka tetap saja menjalankan tugas sebagai dosen mengajar mahasiswa, sehingga jika suatu saat masa jabatannya sebagai rektor habis mereka tidak malu dan terbiasa kembali mengajar sebagai dosen.
. Disdik kota Samarinda sebenarnya sudah memiliki stok calon kepala sekolah yang lulus seleksi pada bulan Januari 2005 sebanyak 46 orang. Dari 46 calon yang lulus seleksi kepsek tersebut lebih dari 10 orang berpendidikan magister pendidikan (S2) bahkan saat study ada beberapa orang yang lulus dengan pridikat Cumlout/ istimewa. Namun demikian, sampai saat ini belum ada seorangpun yang diangkat sebagai kepala sekolah. Apakah disdik masih meragukan kemampuan akademik atau moralitasnya? Apakah ada jaminan bahwa kepala sekolah yang sekarang menjabat (senior) sekolahnya berprestasi? Atau menunggu didemo dari pihak-pihak yang dirugikan?
Calon kepala sekolah yang telas lulus seleksi pada umumnya mengharapkan untuk secepatnya diangkat sebagai kepsek, tetapi dipihak lain kepsek yang masa tugasnya lebih dari 8 tahun masih menjabat enggan untuk turun. Inilah problem yang harus diselesaikan oleh disdik kota Samarinda. Menurut penulis disdik harus berani menerapkan kepmen menteri diknas 162/u/2003 tersebut secara konsisten demi regenerasi dan peningkatan kualitas pendidikan di Samarinda. Jangan menunggu situasi memanas dan bergolak. Apalagi sudah ada pernyataan Walikota Samarinda yang telah mengisyaratkan akan mengganti kepsek yang bertugas di atas 8 tahun (kaltimpost 27/5) Jadi tidak ada alasan lagi bagi disdik untuk mengulur ulur atau tidak menerapkan kepmen diknas tersebut. Kalau walikota dan DPRD saja sudah ada sinyal setuju ada pergantian mengapa disdik tidak melakukan.
Alternatif lain jika kepmen diknas 162/u/2003 belum dapat dilaksanakan seratus persen maka sebagai jalan tengah adalah guru yang telah lulus seleksi sebagai kepsek (46 0rang) 40 % nya diberikan SK sebagai kepsek untuk mengganti kepsek yang tidak berprestasi dan melebihi masa tugas. Pengangkatan hendaknya juga berdasarkan pada peringkat nilai hasil test. Jangan sampai yang lulus pada peringkat atas tidak diangkat menjadi kepsek sedangkan yang menduduki peringkat bawah di angkat duluan. Hal ini jika terjadi akan menjadi masalah baru
Penulis berharap agar kualitas pendidikan di Samarinda semakin baik dan regenerasi berjalan aman maka pemkot, DPRD, LSM, PGRI, komite reformasi, maupun FSGK harus ikut mengawal dan lebih perhatian terhadap masalah masa jabatan kepsek ini. Kepedulian dari DPRD, organisiasi profesi dan LSM ini sedikit banyak akan berdampak positip terhadap pendidikan.
Selama ini kepala sekolah yang baru diangkat pada umumnya di tempatkan di sekolah yang berada di pinggir kota. Sangat jarang kepala sekolah yang baru diangkat di tempatkan pada sekolah maju atau yang berada di tengah kota dengan argumentasi yang tidak jelas. Dalam era reformasi dan otonami daerah. tradisi tersebut sebenarnya kurang tepat.
Disdik harus berani membuat terobosan baru bahwa penempatan kepala sekolah berdasarkan pada kompetensi yang dimiliki kepsek melalui fit and proper test bukan berdasarkan pada senioritas. Walaupun senior jika kurang memiliki kompetensi jangan ditempatkan di sekolah besar atau maju. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kepala sekolah senior saat mau menjabat sebagai kepala sekolah mereka tidak semuanya melalui tes dan seleksi seperti sekarang. Oleh karena itu, jika kepala sekolah senior yang tidak kompeten dipaksakan memimpin sekolah yang besar justru akan mengakibatkan kualitas pendidikan semakin merosot. Disdik harus berprinsip bahwa siswa yang berkompetensi akan berprestasi jika sekolah dipimpin oleh kepala sekolah yang berdidikasi, berkompetensi, berhatinurani, serta guru yang berpotensi dan berprestasi.
Calon kepala sekolah yang akan menjabat sebagai kepala sekolah baik di sekolah besar ataupun kecil, sekolah yang berada di kota maupun di pinggir kota harus melui fit and proper test. Sehingga akan terjadi kompetisi yang positip antar calon kepsek. Kesempatan untuk fit and proper test diberikan kepada semua calon kepala sekolah baik yang belum pernah menjadi kepala sekolah maupun yang sekarang masih menduduki jabatan kepala sekolah. Dengan demikian akan diperoleh kepala sekolah yang visioner dan memiliki kompetensi yang baik.
1 komentar:
Apakah setelah 2 tahun tulisan di atas dipublish, masa jabatan kepala sekolah di prov Kaltim sudah berhasil dibatasi 2 periode saja?
Posting Komentar