Oleh: Mulyadi, M.Pd.
Guru SLTPN 22 Samarinda, Pemerhati Pendidikan dan Moral Anak (PPMA)
Dimuat Harian Swara Kaltim bagian DIKNAS tgl 20 Desember 2003
Kurikulum masa depan lebih dikenal dengan nama Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Kurikulum ini diharapkan dapat mengatasi problem pendidikan khusus mengenai rendahnya kualitas lulusan . Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan pendidikan kecakapan hidup (Life Skill Education) berjalan secara bersama, karena pada dasarnya dalam kurikulum berbasis kompentensi terdapat life skill.
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) ini memberi penekanan pada penguasaan berbagai kompetensi yang harus dikuasai oleh siswa dalam setiap bidang studi pada setiap jenjang pendidikan. Implikasinya, akan terjadi pergeseran dari penguasaan pengetahuan (kognitif) menuju penguasaan kompetensi tertentu. Potensi yang dikembangkan adalah potensi logika, etika, estetika, maupun kenistika. Potensi yang dimiliki perserta didik tersebut hendaknya dikembangkan secara maksimal dengan berbagai strategi.
Peningkatan dan pengembangan kecakapan hidup (life-skills) yang diwujudkan melalui pencapaian kompetensi peserta didik untuk bertahan hidup, menyesuaikan diri, dan berhasil di masa datang. Dengan demikian, peserta didik memiliki ketangguhan, kemandirian, dan jati diri yang dikembangkan melalui pembelajaran atau pelatihan yang dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan. Kewajiban dari pendidik adalah memberikan pendidikan life skill kepada peserta didik dengan sungguh-sungguh agar kelak mereka dapat mengahadapi problem hidup.
Aspek-aspek yang harus dikembangkan kurikulum masa depan (kurikulum berbasis kompetensi) untuk mewujudkan siswa yang mandiri, berbudaya, sehat, beraklaq mulia, beretos kerja, berpengetahuan, menguasai tehnologi, dan cinta tanah air yaitu:
Pertama, Diversifikasi kurikulum yang mengakomodasikan berbagai perbedaan siswa baik dalam hal potensi akademik, lingkungan, budaya maupun kesiapan siswa itu sendiri. Siswa memiliki perbedaan satu sama lain. mereka berbeda dalam minat, kemampuan, kesenangan, pengalaman, dan cara belajar.
Siswa tertentu lebih mudah belajar dengan dengar-baca, siswa lain lebih mudah dengan melihat (visual), atau dengan cara kinestetika (gerak). Oleh karena itu, kegiatan pembelajaran, organisasi kelas, meteri pembelajaran, waktu belajar, alat belajar, dan cara penilaian perlu beragam sesuai dengan karakteristik siswa. Kegiatan pembelajaran perlu menempatkan siswa sebagai subjek belajar artinya, kegiatan pembelajaran memperhatikan bakat, minat, kemampuan, cara dan strategi belajar, motivasi belajar, dan latar belakang sosial siswa. Kegiatan pembelajaran perlu mendorong siswa untuk mengembangkan bakat dan potensinya secara optimal.
Kedua, Standar nasional yaitu adanya ukuran nasional yang harus dikuasai oleh siswa pada setiap jenjang (SD, SLTP, SLTA) setelah menyelesaikan atau tamat belajar. Ketiga, implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi Dasar (KBK), kurikulum yang disusun disesuaikan dengan kekinian dan bersifat fleksibel yang dapat dipertanggung jawabkan secara akademik maupun publik.
Keempat, mengacu pada empat pilar pendidikan kesejagatan sebagai mana dirumuskan oleh UNESCO ( learning to know, learning to do, learning to be dan learning to live together). Kalangan pendidik harus berusaha semaksimal mungkin agar siswa dalam belajar tidak hanya mengetahui saja tetapi harus dapat melakukan atau berbuat sesuai dengan pengetahuan yang didapat. Nantinya siswa diharapkan dapat hidup mandiri dan bekerja sama dengan orang lain di masyarakat. Hal ini dapat terwujud jika secara konsisten kita menerapkan empat pilar pendidikan dari UNESCO.
Belajar untuk mengetahui (learning to know) merupakan dasar untuk belajar bertindak/berbuat (learning to do). Seseorang akan dapat melakukan sesuatu dengan benar dan baik jika dia telah memiliki pengetahuan yang memadai, tanpa pengetahuan tindakan yang dilakukanpun akan ngawur dan tidak terarah. Selanjutnya belajar berbuat/bertindak (learning to do) merupakan dasar untuk dapat mandiri ( learning to be) dan belajar mandiri ( learning to be) dasar untuk dapat bekerja sama dan hidup bersama dengan orang lain (learning to live together).
Kelima, peningkatan partisipasi masyarakat, hal ini diupayakan untuk membangkitkan potensi yang ada dalam masyarakat dalam meningkatkan mutu pendidikan. Kepedulian dan kontribusi masyarakat terhadap pendidikan pada era otonomi ini memang perlu diberdayakan. Masyarakat dapat memberikan atau menyalurkan pemikirannya melalui lembaga yang sekarang telah di bentuk yaitu Dewan pendidikan dan Komite Sekolah. Melalui dua lembaga inilah diharapkan mereka dapat berkiprah untuk memajukan pendidikan.
Keenam, implementasi Menejemen Berbasis Sekolah (school-based management) yakni memberikan kewenangan kepada sekolah lebih luas dalam mengambil keputusan untuk meningkatkan mutu. Menejemen berbasis sekolah (school-based management) memberikan otonom kepada sekolah untuk merencanakan, menyusun, melaksanakan, memonitoring dan mengevaluasi program-program peningkatan mutu tanpa harus menunggu petunjuk birokrat yang ada di atasnya. Oleh karena itu, perlu menumbuhkan komitmen bersama untuk mandiri dalam lingkungan sekolah. Mengingat sudah ada instrumen yang baku dalam mengevaluasi program sekolah, maka diharapkan sekolah pro aktif untuk melakukan evaluasi sendiri dengan menggunakan instrumen dari BAS (Badan Akriditasi Sekolah)
Berkaitan dengan Pendidikan berbasis kecakapan hidup (Life-Skill Based Education). Tim Broad-Based Education (2002) menafsirkan kecakapan hidup sebagai kecakapan yang dimiliki seseorang untuk mau dan berani menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya. Oleh karena itu, pendidikan kecakapan hidup adalah pendidikan yang memberi bekal dasar dan latihan yang dilakukan secara benar kepada peserta didik tentang nilai-nilai kehidupan sehari-hari agar yang bersangkutan mampu, sanggup, dan terampil menjalankan kehidupannya yaitu dapat menjaga kelangsungan hidup dan perkembangannya.
Pengenalan pendidikan kecakapan hidup (life skill education) pada semua jenis dan jenjang pendidikan pada dasarnya didorong oleh anggapan bahwa relevansi antara pendidikan dengan kehidupan nyata kurang erat. Kesenjangan antara keduanya dianggap lebar, baik dalam kuantitas maupun kualitas. Pendidikan makin terisolasi dari kehidupan nyata sehingga tamatan pendidikan dari berbagai jenis dan jenjang pendidikan dianggap kurang siap menghadapi kehidupan nyata. Akibatnya para lulusan sekolah dan perguruan tinggi banyak menjadi pengangguran karena apa yang telah mereka terima sewaktu berada di bangku sekolah dan kuliah berbeda dengan keadaan di masyarakat yang dihadapi.
Pendidikan kecakapan hidup harus merefleksikan nilai-nilai kehidupan nyata sehari-hari. Yang menjadi pemasalahan sekarang ini sudahkah pendidikan (informal, formal, non formal) berusaha untuk membekali life skill pada generasi muda?. Bayangkan setiap hari anak-anak kita melalui media elektronik (TV) menonton sinetron yang jauh dari realita kehidupan masyarakat. Hal ini mempengaruhi paradigma anak dalam hidup di masyarakat sendiri.
Pendidikan harus mengupayakan relevansinya dengan nilai-nilai kehidupan nyata sehari-hari masyarakat. Dengan cara ini, pendidikan akan lebih realistis, lebih kontekstual, tidak akan mencabut peserta didik dari akar budayanya sehingga pendidikan akan lebih bermakna bagi peserta didik dan akan tumbuh subur.
Seseorang dikatakan memiliki kecakapan hidup apabila yang bersangkutan mampu, sanggup, dan terampil menjalankan kehidupan dengan nikmat dan bahagia. Kehidupan yang dimaksud meliputi kehidupan pribadi, kehidupan keluarga, kehidupan tetangga, kehidupan perusahaan, kehidupan masyarakat, kehidupan bangsa, dan kehidupan-kehidupan lainnya. Bagaimana dengan life skill masyarakat kita? Tentunya masih jauh dari harapan.
Tim Broad-Based Education Depdiknas (2002) mengemukakan bahwa tujuan pendidikan kecakapan hidup adalah untuk: (1) mengaktualisasikan potensi peserta didik sehingga dapat digunakan untuk memecahkan problema yang dihadapi, (2) memberikan kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkan pembelajaran yang fleksibel, sesuai dengan prinsip pendidikan berbasis luas, dan (3) mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya di lingkungan sekolah, dengan memberi peluang pemanfaatan sumber daya yang ada di masyarakat, sesuai dengan prinsip manajemen berbasis sekolah.
Berdasarkan tujuan pendidikan kecakapan hidup, sekolah memiliki kewajiban untuk mengembangkan potensi peserta didik (multi kecerdasan) baik kecerdasan intelektual, emosional, maupun spiritual dengan cara merekayasa dan mengoptimalkan pembelajaran dengan tidak meninggalkan realita kehidupan di lingkungan sekolah dan masyarakat. Di samping itu sekolah juga harus berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan kerjasama dengan masyarakat. Dengan demikian, akan terjadi hubungan yang mesra antara sekolah dan masyarakat yang akhirnya dapat meningkatkan kualitas pendidikan.
0 komentar:
Posting Komentar