Pendidikan Berbasis Moral Melalui Pembelajaran Terintegrasi


Oleh Mulyadi, M.Pd.
Pemerhati Pendidikan dan Moral Anak (PPMA)

Dimuat Harian Swara Kaltim bagian DIKNAS berseri tgl 1,2,3 Desember 2003 dan Harian Kaltimpost bagian Opini berseri tgl 15 dan 16 Desember 2003


Tantangan pendidikan nasional yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dari waktu ke waktu meliputi empat hal, yaitu peningkatan pemerataan kesempatan, kualitas, efisiensi, dan relevansi. Berkaitan dengan kulitas, pendidikan dianggap telah melakukan berbagai kesalahan diantaranya banyak melahirkan lulusan yang tidak memiliki life skill, sehingga banyak lulusan seperti sarjana menjadi pengangguran karena tidak dapat mandiri dalam kehidupannya. Selain itu pendidikan juga kurang menekankan aspek moral sehingga melahirkan manusia-manusia robot yang melakukan tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme (amoral).
Memang terdapat beberapa lulusan yang cerdas secara intelektual tetapi tidak memiliki kecerdasan emosional dan spiritual.Teori-teori yang dipelajari tidak diimbangi dengan peningkatan moralitas diri dan kurang menyentuh realita kehidupan. Akibatnya apa yang diterima di bangku sekolah dan kuliah berbeda dengan kehidupan masyarakat yang dihadapi, selain itu ilmu yang diperoleh juga tidak dimanfaatkan untuk kemanusiaan. Mulai sekarang kita harus membuka mata dan sadar bahwa terpuruknya bangsa Indonesia dewasa ini bukan hanya tidak memiliki life skill semata tetapi juga disebabkan oleh krisis moral. Hal ini terjadi karena tidak ditegakannya nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan kejujuran.
Dewasa ini di masyarakat kaltim khususnya di Samarinda orang tua sudah mulai sadar tentang pentingnya pendidikan yang berbasis moral. Mereka menginginkan anaknya tidak hanya pandai dalam bidang akademik tetapi lebih jauh dari itu yaitu anak yang cerdas dan bermoral (manusia berimtak yang menguasai iptek). Indikator ini dapat dilihat dari antusias dan selektifnya orang tua dalam memilih sekolah yang berbasis moral seperti di SDIT Cordova (Jl Juanda) maupun SD Muhamadiyah.
Orang tua tidak lagi mempermasalahkan mahalnya SPP, menurut mereka yang penting sekolahanya bermutu melahirkan lulusan yang bermoral. Sayang, kehebatan dan kelebihan sekolah ini tidak diikuti oleh sekolah lain maupun jenjang sekolah yang ada di atasnya (SLTP dan SLTA). Dua sekolah tersebut merupakan contoh sekolah yang dalam pembelajaranya selain menekan aspek ilmu pengetahuan juga menekankan aspek moral yang berlandaskan pada ajaran agama Islam. Peserta didik mulai dini diajarkan untuk bertindak jujur, adil, tenggang rasa, disiplin, bertanggung jawab. Hal ini ditekankan bukan hanya pada teori saja tetapi lebih pada konsistensi antara teori dan praktek. Dengan demikian, diharapkan peserta didik akan menjadi manusia yang berimtak dan beriptek sehingga tindakan yang dilakukan bermanfaat bagi orang lain.
Di samping itu kita juga perlu merujuk dan mencontoh kurikulum, pola, dan proses pendidikan yang berlangsung di pesantren-pesanteren modern seperti Pondok Modern Gontor di Ponorogo. Lembaga ini telah banyak melahirkan manusia yang berilmu, beriptek, bermoral dan mandiri dalam kehidupannya. Lulusan dari pondok ini tidak hanya menguasai ilmu agama tetapi juga menguasai bahasa Inggris dan Arab secara aktif. Konsep yang diterapkan sangat cocok dengan konsep pendidikan kecakapan hidup (life skill). Sekarang coba kita bandingkan dengan lulusan perguruan tinggi yang ada berapa persen mereka yang dapat fasih berbahasa Inggris, bermoral dan dapat hidup mandiri ?
Dalam era globalisasi dunia yang ditandai dengan pesatnya perkembangan IPTEK dewasa ini berpengaruh terhadap perubahan nilai dan moral suatu bangsa. Perkembangan IPTEK menjadikan informasi dan telekomunikasi dunia terbuka secara bebas dan luas. Sekarang ini, berbagai informasi dapat dengan mudah diperoleh melalui media elektronika maupun media cetak seperti televisi, radio, internet, majalah, maupun koran.
Untuk mengantisipasi tidak terulangnya tindakan amoral dan informasi yang kurang baik maka perlu disiapkan generasi muda yang berkualitas, berimtak, berilmu dan bermoral yang dapat menyaring berbagai informasi dari luar yang disesuaikan dengan kebutuhan dan falsafah bangsa. Hal ini dapat dilakukan sejak awal mulai dari pendidikan dasar dengan cara memberikan pendidikan berbasis moral kepada peserta didik.
Pendidikan dalam menyiapkan peserta didik yang berimtak, berilmu, dan bermoral perlu mereformasi pendidikan yang selama ini lebih menekankan aspek kognitif dan mengabaikan aspek afektif (sikap, minat, nilai, apresiasi, motivasi) serta aspek psikomotor. Akibat dari kesalahan ini peserta didik memiliki pengetahuan nilai dan moral tetapi tidak melaksanakan nilai dan moral tersebut dalam kehidupan masyarakat. Hal ini disebabkan peserta didik tidak memiliki sistem nilai yang diyakininya
Secara khusus memang sudah ada mata pelajaran yang menanamkan nilai, norma, dan moral kepada peserta didik yaitu mata pelajaran Agama dan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) yang sebentar lagi akan diganti dengan PKN. Namun demikian, dalam melaksanakan pembelajaran terdapat beberapa kelemahan. Pertama, dalam menanamkan nilai, norma, dan moral hanya transfer of knowledge dengan cara indoktrinasi sehingga peserta didik tidak memiliki sistem nilai yang diyakini untuk bekal hidup dalam bermasyarakat Kedua, Pendidikan agama ataupun PPKn hanya dianggap sebagai penghias kurikulum atau pelengkap yang dipandang sebelah mata. Ketiga, kurang penekanan pada praktek dan penanaman nilai-nilai moral seperti kejujuran, keadilan, cinta, kasih sayang, persahabatan, suka menolong, suka damai dan tolerensi yang mendukung kerukunan antarumat beragama.
Pendidikan Agama dan PPKn akan berfungsi dengan baik jika melakukan transformasi nilai-nilai keagamaan atau pancasila dan moral kepada anak didik, mampu menjadikan pendidikan agama dan PPKn sebagai suatu program pendidikan yang dirasakan penting dalam sistim pendidikan nasional, dan mampu menanamkan nilai-nilai moral yang mendukung kerukunan antar umat beragama, serta memberikan perhatian yang memadai untuk mempelajari agama lain.
Hal lain yang menyebabkan pendidikan di sekolah tidak berhasil juga karena anggapan para guru yang salah. Mereka beranggapan yang berkewajiban dan bertanggung jawab mengajarkan nilai dan moral kepada peserta didik hanyalah guru PPKn dan Agama. Anggapan guru tersebut menyesatkan dan harus diluruskan, pada dasarnya semua guru berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengajarkan nilai dan moral kepada peserta didik yang dilakukan secara terintegrasi.
Sikap dan tindakan seperti kejujuran, keadilan, disiplin, dan tanggung jawab dapat diajarkan melalui semua mata pelajaran dengan berbagai cara yang disesuaikan dengan karakter dari mata pelajaran masing-masing. Dengan pembelajaran terintegrasi yang melibatkan berbagai komponen baik keluarga, sekolah, maupun masyarakat pendidikan diharapkan dapat membentuk warga negara yang berimtaq, berilmu, bermoral, dan taat hukum menuju masyarakat madani yang dicita-citakan bangsa Indonesia.
Pendidikan berbasis moral (pendidikan nilai dan moral) seharusnya dilakukan dengan pendekatan komprehensif, baik komprehensip dalam isi, metode, maupun dalam keseluruhan proses pendidikan. Isi pendidikan nlai dan moral hendaknya meliputi semua permasalahan yang berkaitan dengan pilihan nilai pribadi sampai nilai-nilai etika yang bersifat umum. Metode yang digunakan multi metode seperti penanaman nilai, klarifikasi nilai, analisis nilai, dilema moral, maupun pertemuan kelas. Pendidikan nilai hendaknya terjadi dalam keseluruhan proses pendidikan di kelas (intrakurikuler) maupun di luar kelas (ekstrakurikuler). Selain hal di atas pendidikan berbasis moral hendaknya juga dilakukan oleh masyarakat (keluarga, tokoh masyarakat, politikus, birokrat dan seluruh komponen masyarakat).
Penyelenggaraan pendidikan berbasis moral di sekolah supaya berjalan dengan baik harus dibuat sebuah program. Dalam melaksanakan program tersebut perlu juga menjalin kerja sama dengan orang tua siswa dan masyarakat. Oleh karena itu, sekolah harus membuat jadwal tetap pertemuan dengan orang tua siswa dan warga masyarakat. Pertemuan ini dilakukan untuk mendapatkan berbagai informasi dari orang tua maupun masyarakat yang berupa pemasukan, saran, dan evaluasi program yang di selenggarakan.
Supaya dapat mencapai tujuan pendidikan berbasis moral yang diinginkan maka perlu dibahas tentang peran, fungsi, tugas, dan kewajiban dari sekolah, orang tua, maupun masyarakat. Contoh sekolah melaporkan perkembangan perilaku siswa kepada orang tuanya secara periodik (sebulan sekali) atau sebaliknya. Masyarakat memberikan informasi perilaku siswa di luar sekolah atau mengkritisi program yang dilakukan sekolah dsb. Selain melalui pertemuan yang telah dijadwalkan, masyarakat maupun orang tua dapat memberikan kritik, saran, atau informasi melalui telpon, surat, media massa maupun elektronik. Kerjasama yang baik antara penyelenggara pendidikan di sekolah, keluarga dan masyarakat akan mempengaruhi hasil pendidikan yakni kualitas moral generasi muda. Di harapkan dengan moral yang berkualitas ini masyarakat madani yang dicita-citakan dapat terwujud dengan segera.

0 komentar:

Posting Komentar