Sumpah pemuda : Antara Idealisme dan Realitas politik

Oleh : Mulyadi, M.Pd. Pemerhati Pendidikan dan Moral Anak (PPMA) Dimuat Harian Kaltim Post Bagian Opini tgl 30 Oktober 2003
Peranan pemuda dan organisasi kepemudaan merupakan fenomena baru pada abat ke-XX. Pada abat ini terjadi perubahan-perubahan karena masuknya ide-ide baru, sistem pendidikan, industrialisasi, yang ingin merubah tatanan masyarakat lama. Perubahan yang telah memporak porandakan tatanan lama itu ternyata belum diikuti dengan terwujudnya masyarakat baru. Dalam masyarakat yang demikian terjadilah krisis dalam pikiran golongan masyarakat termasuk pemudanya. Mereka mulai berpikir dan menanyakan posisi dirinya dalam arus perubahan zaman yang tidak menentu. Mereka mulai mencari identitas diri dan mencari jati dirinya demi menatap masa depanya yang selama ini dikungkung oleh generasi tua dan tekanan penjajah Belanda. Kelahiran Budi Utomo tanggal 20 Mei 1908 yang didirikan oleh mahasiswa Stovia merupakan ekspresi dan aspirasi kaum muda untuk mengambil peran dalam mengubah masyarakat ke arah kemajuan dengan semangat pemuda yang berkobar-kobar. Hal ini telah mengilhami munculnya gerakan-gerakan pemuda di Indonesia untuk masa selanjutnya. Gerakan-gerakan itu berkembang sedemikian rupa sehingga mengarah pada suatu kesapakatan nasional dalam bentuk sumpah bersama untuk satu nusa bangsa, tanah air, dan bahasa yang sama yaitu Indonesia. Sebuah fenomena sejarah yang merupakan momentum sangat penting dalam proses penguatan konsep wawasan kebangsaan Indonesia terjadi pada tanggal 28 Oktober 1928. Dalam peristiwa ini modal yang sangat berharga bagi terbentuknya sebuah nation state telah disepakati. Hal yang paling utama bagi suatu bangsa adalah adanya kehendak bersama untuk bersatu, hal ini dapat mengatasi adanya alasan lain yang bersifat kedaerahan, kesukuan, keturunan, keagamaan, dan sejenisnya dengan tetap menghormati perbedaan perbedaan yang ada. Dengan kehendak bersatu bangsa Indonesia dapat menghadapi berbagai kendala. Sejak tangal 28 Oktober 1928 dunia dikejutkan oleh kemampuan dan kesanggupan bangsa Indonesia untuk bersatu padu dalam kemajemukan. Dengan Sumpah Pemuda, pergerakan kebangkitan nasional berusaha memadukan kebhinekaan dengan ketunggalikaan. Kemajemukan tetap ada dan dihormati, tetapi semangat perjuangan dan pengakuan bertanah air, berbangsa, dan berbahasa satu Indonesia sudah bulat. Demikian pula atas pengakuan bendera merah putih dan lagu kebangsaan Indonesia Raya, semangat persatuan semakin kuat dan nyata. Pengakuan atas keanekaragaman suku bangsa, keturunan, agama dan kepercayaan terhadap Tuhan, golongan, warna kulit, adat istiadat, kebudayaan, bahasa daerah tidak menghalangi niat untuk bersatu mengusir penjajah, bersatu untuk membentuk suatu negara yang merdeka bebas dari cengkraman penjajah. Dengan Sumpah Pemuda kita dapat mengatakan bahwa perbedaan primordial suatu kelompok budaya tertentu tidak berkembang menjadi dasar untuk berpolitik. Perbedaan antarbudaya tidak sampai kepada tingkat bernegara. Dengan adanya persatuan dan kesatuan nasional sejak dicetuskanya sumpah pemuda, di dalam diri bangsa Indonesia tidak ada lagi pengertian warga negara kelas satu dan kelas dua. Sumpah pemuda tidak mengikrarkan warga negara kelas satu atau kelas dua, mayoritas ataupun minoritas. Hal ini dibuktikan antara lain bahasa Jawa tidak dijadikan sebagai bahasa peratuan (nasional), padahal bahasa Jawa pada waktu itu digunakan sebagian besar masyarakat nusantara, tetapi justru bahasa melayu dijadikan sebagai bahasa nasional, yang kemudian berkembang menjadi bahasa Indonesia. Itu semua berarti wawasan kebangsaan Indonesia waktu itu tidak berdasarkan etnit lagi, serta tidak memandang hak dan kewajiban atas dasar perbedaan ciri-ciri eksklusif. Semangat pemuda untuk bersatu membangun suatu bangsa yang merdeka, merupakan idealisme yang kokoh dan realitas politik pada masa itu. Hal ini ada pada diri generasi muda sebagai akibat penindasan penjajahan. Di samping itu juga merupakan kesadaran para generasi muda khususnya pemuda terpelajar untuk membangun bangsanya menjadi bangsa yang merdeka, sejahtera, adil dan makmur. Idealisme sebagai suatu bangsa seperti tersebut di atas seharusnya dimiliki oleh generasi muda dan rakyat Indonesia sekarang ini. Namun realitas politik di era reformasi ini kesadaran sebagai satu bangsa, satu tanah air, satu bahasa Indonesia sebagaimana diucapkan para pemuda mulai memudar yang digerogoti oleh sifat primordial. Gejala desintegrasi sebagai suatu bangsa mulai nampak dalam masyarakat Indonesia, yaitu dengan banyaknya kerusuhan di daerah seperti di Maluku, Aceh, dan Irian Jaya. Kesemuanya itu sebagai akibat dari ketidakpuasan masyarakat di daerah terhadap pemerintah pusat dalam mendistribusikan bidang ekonomi dan politik serta implementasi sistem politik yang sentralistik dan otoriter yang didukung oleh kekuatan militer. Rakyat yang ada di daerah merasa ditindas dan diperlakukan tidak adil. Elit politik dan pejabat negara lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan golonganya, sehingga gejolak-gejolak yang ada di masyarakat tidak terselesaikan dengan baik. Akhirnya rakyat khususnya di daerah tidak memiliki kepercayaan terhadap pemerintah pusat (krisis kepercayaan ). Di samping faktor tersebut di atas sebagian media masa juga ikut andil dalam menciptakan konflik. Pemberitaan yang sepihak, tidak obyektif telah membangun opini publik yang salah., akhirnya membuat situasi konflik semakin memanas. Namun demikian, juga ada beberapa media yang memberikan informasi kepada masyaraktat secara adil dan obyektif, sehingga berita tersebut dapat membantu menyelesaikan konflik yang ada. Sedangkan dengan dibukanya kran demokrasi bagi rakyat memunculkan masalah baru yaitu banyaknya tuntutan akan hak namun kurang menyadari akan kewajibannya sebagai warga negara. Hal ini menimbulkan benturan antarkepentingan sesama warga negara maupun warga negara dengan pemerintah. Akibat lebih jauh adalah tuntutan dari berbagai daerah untuk merdeka, memisahka diri dari negara kesatuan Indonesia. Menurut para pengamat politik belum terlaksananya agenda reformasi disebabkan masih kuatnya sisa-sisa kekuatan orde baru yang berada di legeslatif maupun birokrasi pemerintah. Di samping itu masih banyak faktor lain seperti kurangnya sumber daya manusia yang berkualitas di partai politik yang sekarang duduk di DPR maupun DPRD yang merupakan wakil rakyat. Dalam era reformasi dan otonomi daerah saat ini muncul sikap egoisme kedaerahan seperti isu putra daerah. Bahkan untuk menduduki jabatan strategis seperti kepala daerah mereka menuntut harus dijabat oleh orang daerah (putra daerah). Satu sisi hal ini dapat dipahami karena orang- orang daerah dimasa lalu diperlakukan tidak adil oleh pemerintah pusat, maka tidaklah mengherankan kalau mereka bangkit untuk membangun daerahnya agar maju dan hidup sejahtera tidak tertinggal dengan daerah lain. Namun demikian, sikap egoisme daerah yang berlebihan tanpa di imbangi rasa kebersamaan sebagai satu bangsa Indonesia akan berakibat fatal dalam kehidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara .Dalam situasi dan kondisi demikian, dimungkinkan akan terjadi gesekan-gesekan antarwarga masyarakat yang prural Di dalam mengatasi permasalahan bangsa Indonesia maka diperlukan langkah-langkah antara lain Pertama, kita perlu mengingat kembali makna dari Sumpah Pemuda, dimana saat itu pemuda tidak menonjolkan sifat kesukuan, kedaerahan dan sangat menghargai perbedaan agama, adat istiadat, bahasa daerah serta mengedepankan kebersamaan sebagai suatu bangsa. Kita harus menyadari bahwa bangsa ini dibentuk atas pluralisme dan bertujuan untuk kesejahteraan bersama. Idealisme tersebut haruslah dimiliki oleh generasi muda dan masyarakat Indonesia sekarang ini. Wujud cinta tanah air, bangsa dan negara dapat diwujudkan atau dilakukan sesuai dengan profesinya masing-masing. Kedua, membangun kesadaran masyarakat untuk mencintai bangsa, negara dan tanah airnya melaui berbagai media masa dan penyuluhan. Ketiga, sikap pro aktif dari pemerintah dan seluruh komponen masyarakat dalam menyelesaikan konflik dengan cara dialog untuk mencari akar permasalahan. Keempat, menciptakan keadilan baik bidang politik, ekonomi, hukum serta bidang yang lain. Politik sentralistik otoriter harus diubah dengan sistem politik yang demokratis. Ekonomi yang terpusat dan di monopoli oleh sekelompok orang diubah ekonomi yang memihak pada rakyat kecil. Untuk mewujudkan hal tersebut otonomi daerah harus dijalankan dengan benar yang memihak pada rakyat sehingga kesejahteraan rakyat akan segera terwujud. Kelima, Membangun kesadaran generasi muda melalui pendidikan (setiap mata pelajaran) khususnya Pendidikan Kewarganegaran untuk mencintai tanah air, bangsa dan negaranya. Dengan pendidikan ini diharapkan generasi muda menyadari akan hak, kewajiban, dan tanggung jawabnya sebagi warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan kesadaran tersebut diharapkan tidak hanya menuntut hak namun lebih menyeimbangkan antara hak dan kewajibannya. Keenam, keteladanan para pemimpin dan pejabat negara. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat patneralistik, untuk itu hendaknya para pemimpin yang duduk di legeslatif, eksekutif maupun yudikatif menyadari hal tersebut. Tindakan yang dilakukan haruslah dapat menjadi contoh masyarakat. Ketujuh, mengambil tindakan yang tegas terhadap separatis. Hal ini harus di tindak tegas karena pada dasarnya tujuan utama dari separatis tersebut ingin merdeka dan memisahkan diri dari negara kesatuan RI, jika tidak di tindak tegas maka akan ada daerah lain yang akan mengikutinya.

0 komentar:

Posting Komentar